Bismillah…
Subuh ini, seperti subuh-subuh yang lalu, udara yang kukira akan menghangat ternyata masih saja di temani dengan angin yang cukup kencang. Satu langkah saja engkau di luar, maka dingin yang menusuk akan mengganggumu menikmati hari. Ku coba mencari, dimanakah letak kesyukuran kita ? Meski itu gerimis, meski itu semi, meski itu gugur, meski itu panas ? dimanakah sesungguhnya hati mampu terus merasa mencintai-Nya ?
Tengah malam, seperti biasa, karena keributan di asrama, aku terbangun lagi. Kemudian melihat tumpukan 6 buku di samping tempat tidurku. 2 novel, 1 buku “ringan” dan 3 buku “berat”. Tiba-tiba saja mulai kurenungkan. Tentang malam ini, hari lalu, hari esok, 4 tahun lagi, kelulusan S2, rencana S3, dan semua targetan hidup yang kurancang. Aku tergelitik sendiri memandang hati dan jiwaku. Ternyata tak punya apa-apa untuk sekedar “mengangkat” semua amanah dan beban yang ada di depanku. Ahh… aku tak ingin melanjutkan tentang amanah dan beban. Mempertanggungjawabkan apa yang telah diberikan Allah kepadaku saja sudah tak mampu kuuraikan, bahwa ternyata, sikap, hati, kata, makna, ibadah, iman, Islam, keteguhan, cinta yang selama ini berpendar luas dalam ruang hati dan jiwa-ku belumlah memadai untuk sekedar melanjutkan episode hidup.
Istiqomah itu mahal… Terlalu mahal bahkan. Untuk itu, ketika hati merasa sedang memiliki-Nya, aku ingin mati saja.. tak ingin kulanjutkan hidup ini. Aku tak peduli, apakah nanti amalanku -yang tak seberapa ini – di terima atau tidak. Yang kutahu dan kuingin adalah ketika ruh-ku telah kembali kepada-Nya, maka telah dipastikan bahwa jiwa ini masih mencintai-Nya. Aku hanya takut, jika dua detik kedepan, 1 menit kemudian, 2 hari yang akan datang, semua persendianku, ragaku, imanku, islamku, tak lagi lurus untuk-Nya. Ahh… berat sekali menghadapinya…
Namun bukan itu jawabannya. Sebaik-baik manusia adalah mereka yang berumur panjang dan mengisi harinya dengan amalan langit, cerita bumi yang indah bersama sungai hari yang terisi dengan air mata ketundukan terhadap-Nya. Orang-orang yang terus melaju bersama kereta peradaban, terus bergerak bersama luapan karya dalam lingkaran yang utuh dan lurus untuk-Nya tentu jauh lebih mulia dibanding kita yang memikirkan tentang kematian hari ini, akhir hidup detik ini, ataupun berhentinya waktu menit ini. Terus berusaha, menapaki hidup – meski kadang tak sempurna mencintai-Nya – jauh lebih bijak dan bercahaya dibanding engkau melemahkan hatimu dan berputus asa.
Kehinaan diri, adalah hal yang paling kuingat. Menyadari betapa diri tak ada apa-apanya adalah sebuah renungan yang jauh lebih Indah dibanding engkau menghitung tentang banyaknya amalanmu hari ini. Mutaba’ah, evaluasi formal, atau apapun namanya, tidak pernah menjamin kekuatan cahaya iman di hatimu. Banyaknya amalanmu, kuatnya ibadahmu, bukanlah ukuran akan diterima oleh Allah atau tidak. Keikhlasan yang utuh di jiwa, kemudian terpancar bersama kondisi keimanan yang terus menanjak setiap detik adalah gambaran orang-orang yang berhasil melewati hidupnya dengan Istiqomah dan Istimror. Berat memang, tapi bukankah syurga itu mahal ?
Dan hari ini… Seperti hari-hari yang lalu, aku sempat tersindir dengan permulaan Qur’an Surat Al Anbiya… “TIdak sadarkah kita.. bahwa waktu kematian semakin dekat ?” Memoriku menuju kepada sebuah kalimat kecil yang pernah kubaca dalam sebuah novel. “Semua yang kita punya saat ini adalah amanah dari-Nya.. dan amanah akan dipertanggungjawabkan..” Tiba-tiba aku merasa tak siap, tak punya bekal, tak punya kekuatan untuk sekedar mengatakan bahwa aku telah menunaikan semua nikmat ini di jalan-Mu…
Allahumma…
Semoga Engkau masih terus menemani hari kami, membasahi gersangnya hati kami, menemani episode jiwa kami… Tanpamu kami takkan bahagia..
Bahagiaku… semua karena-Mu…
Taipei, 11 Maret 2010
~ Yusuf Al Bahi ~