Bismillah…
Semua masih rahasia-Mu. Namun seperti ombak. Ia bergemuruh di dalam lautan jiwa yang terhampar luas. Bukan saja bergumuruh, namun Ia juga membuatku merasa ada. Semangatnya, senyumnya, dorongannya, langkah kakinya, seperti bersamaku setiap saat. Aku tahu, aku sebenarnya tak ingin ombak itu menjauh. Aku ingin ia mendekat berlabuh dibibir-bibir pantai bersama pasir putih itu. Namun, masih kutunggu senja itu. Kutunggu ia meski debar-debar waktu tak lagi berdamai denganku.
Di ujung cakrawala kumengadu. Kalau saja, musim semi terus ada, mungkin mekarnya akan selalu bersamaku. Namun, rahasia-Mu adalah penentu segalanya. Entah aku suka, entah aku tak suka, cerita-Mu adalah sebuah keindahan. Seperti gelombang yang merambat dalam ketidakpastian, aku tahu dalam rentang waktu tertentu selalu tersimpan titik puncak untuk sebuah nilai amplitudo. Aku menunggu titik itu, meski semua nilanya masih samar-samar untuk kuperhitungkan.
Angin masih terus bergemuruh, dan pandanganku masih tak mau beranjak dari sang pelangi yang megah itu. Seperti rintik hujan yang membumi, nyanyiannya tentang kebahagiaan adalah lambang dari semua prosa-prosa indah dari sang pujangga. Basahnya, hijaunya, aliran airnya adalah sajak-sajak purnama yang penuh dengan kilauan. Aku terpesona menikmati semua waktu yang dipersembahkan oleh-Nya.
Masih 48 purnama lagi untuk menuju sebuah kesempurnaan. Setiap saat, langit malam selalu memberi jawaban dari setiap rahasia-Mu. Aku tahu, aku ada untuk-Mu, aku berbicara karena kehendak-Mu, maka malulah aku jika nama-Mu bukanlah yang kutuju. Bawalah aku bersama gemintang yang tak pernah surut menemani sang bulan. Aku ingin terus bercahaya meski mereka hanya sebagian kecil dari makhluk-Mu diangkasa. Ingin kubingkai titik-titik putih ini menjadi sebuah kesempurnaan yang mengabadi. Ingin kusisihkan semua rasa agar yang tersisa hanya nama-Mu, yang tersisa hanya karena-Mu, yang tersisa hanya karena aku hendak memiliki-Mu, disitulah akan bertemu rahasia-Mu dan kesempurnaan emosiku.
Pijakanku masih jauh, masih panjang, dan pasti akan lebih melelahkan. Namun cukuplah kusimpan semuanya bersama potongan-potongan kata yang keluar dari alam pikirku. Kuingin hanya kata yang menemani makna, sebab kebersamaannya lebih murni tanpa sebuah interfensi. Biarkan maknanya bermain bersama cerita-cerita yang kutuangkan untuk sekedar melepaskan bebanku. Masih akan selalu kutunggu, kutunggu purnama yang menjelaskan rahasia-Mu, hingga nanti, ketika ia bersamaku, akan kusampaikan betapa resahnya aku bergelut bersama sang waktu.
Pergilah engkau duhai “Resah”. Sebab yang kucari adalah dia yang bernama “Tentram”. Pergilah engkau yang bersimbol “Lelah”, sebab yang ada dalam kamus prosaku hanyalah sebuah “Pengorbanan”. Larilah engkau wahai “Bosan”, sebab tak pernah ada dalam langit hatiku, bintang lain selain “Kerja keras”. Akan kubersamai rasa tentram dijiwaku, kulindungi ia dengan segenap pengorbananku serta kubersamai ia dengan kerja keras-ku. Hingga nanti… Ketika kumenemukanmu, yang kau temukan dari diriku, adalah sebuah kesempurnaan tentang rahasia-Nya.
Taipei, 18 Juli 2010
~ Ditengah kesibukan Thesis report ke Prof. ~
~ Yusuf Al Bahi ~
Picture is taken from google