Menulis, Sebuah Kebutuhan

Bismillah..

Terus terang, saat ini saya ingin sekali menulis. Tapi kebingungan mau menulis tentang apa. Mungkin karena terlalu banyak hal yang ingin saya sampaikan sampai sayapun bingung apa yang ingin mau saya utarakan. Buat saya, menulis adalah kebutuhan jiwa. Kekuatan berbeda yang selalu bisa memberikan kesempatan bagi hidup saya untuk menjadi lebih hidup. Terdengar retoris bukan ? tapi begitulah, jika anda sudah menjadikan kebiasaan menulis sebagai bagian dari hidup anda, maka perasaan itu akan hadir dengan sendirinya. Entah tulisan saya jelak, sangat buruk kualitasnya, buat saya, menulis itu adalah kebutuhan penting yang menjadi asupan “gizi” sehari-hari.

Menulis juga merupakan bentuk eksistensi diri. Sebuah eksistensi yang sangat positif menurut saya. Terlepas dari muatan isi yang (mungkin) sering banyak bercerita tentang diri sendiri, namun menulis tetaplah bentuk menghadirkan eksistensi kita dalam lingkungan sosial yang mulai meluas saat ini. Apalagi, saat ini situs jejaring sosial mulai menjamur, sehingga banyak sekali kesempatan buat kita untuk bisa menumbuhkan eksistensi. Tentunya pada jalur yang positif. Kita bisa menjadikan sarana menulis untuk mengasah bakat, “menjual diri” dengan cerita-cerita berkualitas tentang keseharian kita, atau bahkan hanya sekedar curhat tidak penting, yang mungkin saja bisa diambil hikmahnya oleh orang lain untuk dipelajari, atau bahkan bisa saja menjadi sarana melatih kita untuk menulis. Intinya, menulislah selagi memang bisa dan diberi kesempatan oleh Allah untuk melakukannya. Karena biarpun sedikit, eksistensi kita sebagai makhluk sosial masih bisa terjejak di bumi.

Baca lebih lanjut

Iklan

2 Hari Bersama Umar (1)

Bismillah…

Ia adalah pemuda yang tampan, tubuhnya tegap, luas pengetahuannya, menyukai sastra, terlihat dari banyaknya syair yang dikuasainya, dan tentu saja, Ia adalah orang yang TEGAS. Kuat dengan pendiriannya, teguh dalam keyakinannya, dan sangat kokoh dalam mempertahankan apa-apa yang dipercayainya.

Awalnya, saya mengira, sosoknya adalah sosok yang keras, sangat menyeramkan jika dipandang, dan bengis laksana algojo-algojo yang sering menjadi tukang pancung di berbagai tontonan kisah-kisah klasik yang intrik. Namun ternyata, saya memang bodoh. Bodoh karena baru mendalami dengan sangat dalam sosok beliau. Bodoh karena selama ini, waktu-waktu saya habis dengan bacaan-bacaan paper yang sering tak ada habis-habisnya. Padahal, bersama kisah-kisah mereka, yang akan selalu kita dapatkan adalah semangat cinta dan daya juang yang sangat besar untuk Allah, Tuhan mereka.

Kali ini, saya ingin berkisah tentang Umar bin al khathab. Seorang tokoh besar dalam Islam yang banyak memberikan keteladanan dalam kepemimpinan. Ketegasannya memang terkenal menakutkan. Sampai syetan-pun lari terbirit-birit jika Umar muali berjalan disekitaran mereka. Menurut saya. Umar dan Abu Bakar adalah gambaran dua karakter yang mampu membuat perjuangan dakwah itu begitu kokoh lagi kuat.

Jika umar adalah seorang yang tegas, Abu Bakar adalah manusia yang paling lembut hatinya. Jika Umar berbadan tegap dan besar, Abu bakar, meski tinggi, ia berperawakan kurus. Jika Umar sangat berani dalam mengungkapkan pendapatnya, meskipun berseberangan dengan Rasulullah. Abu Bakar adalah orang yang sangat mempercayai dan mengikuti apapaun yang Rasulullah ingini. Dua sikap berbeda yang menjadi pelengkap bagi sempurna-nya kepemimpinan Rasulullah SAW.

Umar bin khathab di gelar sebagai al-furqan, yaitu pembeda. Ia menjadi pembeda antara yang haq dan yang batil. Sering sekali perkataan-perkataan dan buah pemikirannya dibenarkan oleh Allah lewat firman-firman-Nya yang diturunkan melalui Rasulullah SAW.  Kisah tentang Khamar adalah contohnya. Bagaimana beliau meminta Rasulullah SAW untuk segera memberikan hukum yang pasti tentang khamar kepada kaum muslimin saat itu. Pendapat beliau agar khamar segera di tetapkan sebagai sesuatu yang haram, akhirnya di benarkan oleh Allah dalam Q.S. Al Maidah ayat 90.  Baca lebih lanjut

Inilah Kartini-ku

Bismillah…

…. 18 tahun lalu ….

“Mau makan apa nak ?”

“Nasi kuning ma.. Ario nda bisa makan yang lain, rasanya ga enak..”

Tak berapa lama kemudian, permintaan Nasi Kuning sebagai menu saya akhirnya terhidang. Saat itu, saya sedang sakit. Dari kecil hingga kelas 5 SD, salah satu yang paling saya ingat adalah sakit yang sering sekali datang. Dan tentu saja, Ibu saya adalah orang yang tak pernah alpa merawat, menyembuhkan, bahkan berdo’a tak henti-hentinya untuk saya. Menurutku, beliau adalah dokter terbaik. Lebih baik dari semua dokter dimanapun. Begadang untuk anak-anaknya ketika sakit, membuatkan apa saja yang mereka mau karena saya dilahirkan di tempat terpencil di utara Halmahera, yang tidak dengan mudahnya membeli makan semau kita. Setidaknya, untuk urusan kekurangan anak-anaknya, Ibu saya akan melakukan yang terbaik.

… 11 Tahun lalu …

Wajah itu tak menangis, hanya diam. Sedang ayah saya sudah sesenggukan ketika memasuki rumah kontrakan baru kami di Ternate.

“Rumah… dan semua yang kita bangun puluhan tahun habis di bakar masa..”Lanjut ayahku masih dalam tangisan.

“Semua yang pernah ada, sekarang sudah habis…” tutup beliau..

Ibu saya masih tenang. Beliau mungkin menangis, tapi tidak dihadapan kami. Kejadian menegangkan paska kerusahan SARA di bumi Maluku dan Maluku Utara memang mebumihanguskan semua harta benda yang pernah ada. Namun Ibu dan keluarga tetap bertahan. Membangun kembali puing-puing kegagalan yang pernah ada. Walau bagaimanapun hidup tetap harus di lalui. Sepahit apapun. Dari beliau, saya belajar arti KESABARAN. Pelajaran SABAR yang belum pernah kutemukan dari siapapun.

…. Juli, 2004 …..

“Waktu itu, mama duduk sambil nangis di ujung bukit depan rumah sambil lihat laut yang mulai bergelombang. Hari itu, nenek dikabarin meninggal setelah peristiwa naas perahu mereka yang terbalik menuju Gane Timur.. “ Kata Ibu saya membuka pembicaraan..

“Mama mulai berpikir.. Kira-kira bisa ngga ya, mama lanjut sekolah. Mama ingin sekali sekolah.. Mulai putus harapan mama, karena mama harap kalau ada Nenek sama kakek, mama bisa ke Ternate tuk lanjut sekolah SMA.. ” Lanjut beliau

Ceritapun kembali terurai. Ibu beliau (nenek saya) meninggal dalam kondisi keluarga yang pas-pasan ketika beliau masih SMP, dan tak punya biaya untuk kembali bersekolah. Akhirnya, Ibu saya memutuskan untuk tinggal numpang di salah satu rumah keluarga saya di Ternate. Membantu pekerjaan rumah, sambil terus meneruskan pendidikannya di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) kala itu.

“Tiap subuh jam 4, mama sudah bangun. Angkat air untuk memenuhi semua bak mandi. Masak, bersih-bersih, sampai semua pekerjaan rumah. Itu rutin setiap hari. Tidak ada beban, karena yang mama ingin, bisa selesai sekolah dengan baik. Alhamdulillah, selalu jadi yang terbaik di sekolah”

Dan tak usah anda tanya tentang perjuangan beliau hingga selesai sekolah dan menjadi guru. Kisah beliau selalu menginspirasi. Menurut saya, beliau adalah INPIRATOR terbaik sedunia. Kisah hidup beliau adalah hamparan hikmah yang kalau sekeluarga berkumpul dan bercerita lagi, maka kami bisa sama-sama menangis.

Baca lebih lanjut

Malam yang (terasa) panjang

Bismillah...

Pernahkah anda melewati malam yang (terasa) panjang ? malam yang dihantui dengan beribu pikiran atau mungkin banyaknya perencanaan. Lebih parahnya lagi, jika malam itu, ternyata adalah malam-malam tak tenang karena banyaknya masalah. Tubuh kita mulai beringsut kesana-kemari. Posisi tidur mulai tak nyaman. Mencoba menghadap ke kanan, tetap tak bisa. Terlentang lurus, masih saja mata sulit terpejam. Atau bahkan, malam-malam panjang itu anda lalui bersama tumpukan pekerjaan ? Ah.. ini mungkin sering terjadi, atau bahkan menjadi kebiasaan salah seorang diantara kita. Bukan salah seorang lebih tepatnya. Tapi banyak orang ?. Orang-orang yang habis waktu malamnya untuk mengejar targetan-targetan kerja yang menggunung. Orang-orang yang terasa panjang (atau sedikit ?) malamnya karena tuntutan-tuntutan idealisme maupun perut yang terus bertambah setiap hari. Malam-malam panjang yang merupakan pengganti untuk siang hari. Ada yang masih memiliki waktu untuk “balas dendam” di pagi atau siang harinya. Tidur ba’da subuh atau pagi hingga menjelang duhur. Atau bahkan, yang lebih parah, bisa tidur seharian, kemudian mengulang kebiasaan itu setiap harinya. Sungguh memusingkan. Memikirkan hidup seperti itu menurutku sangat rumit, apalagi menjalankannya.

Aku sendiri pernah melewati sekitar 1 bulan hidup seperti ini. Alasannya sederhana “mengejar deadline”. Tugas salah satu numerical work di penghujung tahun 2010 termasuk menjadi kenangan merasakan kerumitan hidup di tengah malam. Kata seorang sahabat saya “awalnya, kita akan merasa mual dan pusing ketika begadang… lama kelamaan jadi biasa“. Pertama mendengarnya, saya harus percaya, sebab belum pernah menjadikan begadang sebagai kebiasaan saya. Mungkin karena saya termasuk orang yang ingat akan lagu Bang Roma “Begadang jangan begadang…”. Terus terang, lagu Bang Rhoma itu sebenarnya penuh idealisme, penuh petuah dan nasihat. Sederhana sebenarnya, pesannya beliau supaya anak muda bisa lebih bijaksana. Ada lagu beliau tentang “wanita sholehah” yang seru kalau didendangkan dengan logat melayu yang di buat-buat. Tapi saya pikir suara saya cukup bisa mengimbangi irama lagu ini (mohon maaf pembaca, saya numpang narsis ^_^). Atau mungkin tentang “Judi”, dan masih banyak lagi. Dan sepertinya, saya sudah mulai sembrawut menulis tema tulisan ini. Mungkin karena pikiran saya sedang melompat-lompat, sampai isi tulisan di tengah malam ini-pun “terpelest” ke bang Oma.

Baca lebih lanjut