(Cerpen) Sebuah Dialog

Bimisllah…

Dalam senja yang mulai gelap. Kupandangi hamparan birunya laut itu. Laut biru yang ketika siang begitu manisnya menggambar bumi di ujung Timur Formosa. Sepertinya ia lunglai dengan siang yang panas, merasa penat dengan kebisingan mentari bersama sinarnya, ia butuh berteduh dalam damai, berdiam dalam perenungan di gulita yang hanya ditemani bintang. Ia menuntut itu. Menuntut untuk segera ditemani malam, biar ia tak lagi diganggu dengan penduduk-penduduk bumi yang mencari kehangatan, kehangatan yang membuatnya jengah. Jengah karena ulah mereka.

‘Semakin brengsek saja penghuni bumi.. “ gumamnya.

“Panasnya air yang kumiliki semakin menjadi selama beberapa tahun terakhir. Padahal dulu, saya masih menikmati kedamaian hangatnya mentari sembari sesekali badai datang menerpa negeri ini. Buatku, ini karena ulah manusia. mereka dengan borosnya memakai energi di perut tanah-tanah itu. Aku, hutan, dan semua inti bumi ini sebenarnya marah dengan mereka. Tapi mereka begitu tak peduli” Lanjutnya..

Aku tersenyum sendiri membayangkan betapa kesalnya seluruh makhluk Allah di muka bumi. Mereka jengah sebenarnya. Jengah dengan para penghuni bumi yang mulai tak mengindahkan perintah Tuhan. Satu persatu terus ditinggalkan. Benar, bahwa nikmat-nikmat Allah itu terus turun di bumi para orang kafir, tapi itu tak lebih dari istidraj-Nya Allah untuk mereka. Kadang-kadang dunia ini memang unik dan sungguh memilki banyak tanda tanya. Tapi bagi yang berilmu. Sebenarnya ini sederhana. Ini hanya tentang “patuh atau tidaknya kamu dengan perintah Allah Yang maha Kuasa..” hanya itu pangkal persoalannya. Jika kembali kepada jalan yang benar, jalan lurus nan bercahaya, sejatinya hidup akan menjadi sederhana lagi bermakna.

Aku mengutuk diri sendiri. Rasanya tak pantas kumulai menghitung salahnya orang lain, sedangkan akupun masih banyak lalai dan masih banyak hal yang berlum disempurnakan. Tak lama kemudian, kuarahkan pandanganku di sekeliling kereta. Setiap manusia masih asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Sebagian besar dari mereka benar-benar acuh tak peduli. Beginikah hidup di negara yang maju ? yang penduduknya pekerja keras dan tahan banting manantang dunia ? mereka seperti lupa, bahwa sapaan dan dialog hangat bersama saudara seperjalanan adalah kenikmatan paling indah di dunia. Kenikmatan yang bisa kurasa ketika perjalanan Jakarta-Yogyakarta kulalui. Menikmati tertawanya para pengemis, sedihnya wajah mereka, atau para penjual-penjual jajanan kecil yang sungguh ribut tak terkira meski itu di malam hari. Bagiku, itulah eksotis-nya Indonesiaku. Negeri permai yang semrawut namun merupakan syurga bagi mereka yang mencintai keramahan dan hidup dalam komunitas.

Aku berdialog lagi dengan diri sendiri. Sepertinya harus kuakui, bahwa berbicara dengan hati adalah aktivitas paling kucintai. Aku menyukai keluasaan cakrawalanya dalam mengambil keputusan, juga sangat menikmati berbagai macam pemikiran dan teori yang suka ia tafsirkan dari berbagai sumber informasi yang berasal dari otakku. Kali ini aku bergelut dengan dua kata. “Nekat” dan “Yakin”

“Kamu yakin ? atau jangan-jangan ini hanya kenekatan yang tak beralasan, kenekatan yang bodoh ?” Tanyanya padaku. Aku tersenyum kemudian mencoba menjawab dengan sebijak dan se-rasionalis mungkin.

“Bisa jadi.. engkau bisa menamakan ini sebagai kenekatan, atau -mungkin- kebodohan. namun entah kenapa, kenekatan-kenekatan itu teriringi dengan rasa Yakin. Rasa yakin yang sulit untuk kuterjemahkan. Dan aku percaya kau dan juga aku suatu saat akan memahaminya” Jawabku.

“kenapa begitu ? Selalu ada alasan untuk sebuah keyakinan. Begitu yang selalu kau ajarkan kepadaku setiap kali ada masalah yang mulai datang dan kau tanyakan padaku untuk segera memberi fatwa” Tanyanya mulai sengit dan sedikit protes.

“Namun, kali ini berbeda. Akupun tak bisa menjelaskannya kepadamu. Aku heran sendiri kenapa kenekatan ini ditemani dengan keyakinan. Bisa saja karena aku percaya bahwa akan ada hasil yang baik dari kenekatan ini, ada cahaya yang akan segera datang menyinari jiwa hingga kelak ia lebih sempurna dalam menghamba. Alasan-alasan yang belum terjadi itu kuprediksikan akan datang menghampiri, hingga akupun menjadi semakin yakin dengan kenekatanku” kucoba kembali meyaknkannya

“Ahh.. jangan-jangan jawaban yang kamu berikan hanyalah ungkapan yang retoris. Ungkapan kata-kata yang sengaja kau pilih untuk membenarkan kenekatan ini ?” Dia mulai sedikit protes. Apakah jawabanku tidak meyakinkan ?

Hmm.. kupikir dalam-dalam bahasa apa yang bisa kupakai untuk menerjemahkan apa yang sebenarnya ada di dalam pikirku.

“Sebenarnya, ada kekuatan Maha Dahsyat yang membuat rasa yakin ini. Kekuatan yang takkan kita temukan dimanapun selain dengan sujud penuh khusyu kepada-Nya. kekuatan yang melahirkan keyakinan kokoh dari sajak-sajak do’a yang terkirim pada-Nya. Kekuatan yang berasal dari Allah, Tuhan kita bersama. Ia memberikan keyakinan yang saya sendiri-pun terheran-heran dengannya. benarkah ini ? nyatakah ini ? pertanyaan-pertanyaan itupun sampai sekarang masih terus hadir di alam pikirku. Namun rasa yakin justru terus bertambah tiap kali aku bertanya pada diri sendiri. Aku hanya PERCAYA. PERCAYA bahwa Allah itu Hebat, MAHA HEBAT bahkan. DIA berhak memberikan apapun kepada makhluk-Nya sesuai yang DIA kehendaki. Aku hanya percaya dengan Janji-Nya. percaya dengan firman-nya yang memastikan selalu akan menolongku jika aku berani mengambil langkah kenekatan ini. Percaya bahwa ia akan meng-kaya-kan aku dan melimpahkan rezeki-ku jika aku berani menantang “kebodohan” ini. Entah kenapa. Kepercayaan itu semakin menjadi-menjadi. Bahkan kuat sekali. Kalau sudah begini, apa lagi jawaban lain yang ingin kusampaikan kepadamu selain bahwa aku percaya dengan keyakinan ini ?”

Kulihat ia diam sesaat. Sejenak termenung dan mencerna kata-kataku. Seperti biasa. Aku menunggu fatwa-nya untuk segera mengabarkan kepada otak dan mulutku agar segera bertindak. Bagiku, fatwanya sungguh berarti.

“Baiklah.. aku menangkap keyakinan yang sukar untuk kurobohkan. Keyakinan yang kalau kulihat sebenarnya juga berasal dariku. Dari hatimu sendiri. Aku sering menangis di sudut Masjid itu. Ketika kau menghabiskan harimu dengan shaum sunnah di pagi hingga senja hari, kemudian do’a-do’a itu terlontar dalam mihrab-Nya. kau begitu tenang lagi khusyu membuatku semakin tergugu karena mengingat Allah dengan segala kebesaran-Nya. Kuakui, meski kadang aku protes dengan kenekatan ini. Namun itu tak lebih agar bisa membuatmu lebih rasional dan mempersiapkan segala sesuatu. Hanya saja. Aku khawatir, khawatir kalau aku tak selalu baik setiap saat. Sebab para sahabat dan orang berilmu-pun selalu lalai. Apalagi dengan kamu yang tak sekokoh mereka ? Aku takut jika kamu mulai terbuai dengan nikmatnya dunia yang sudah sering bikin aku sakit dan ternoda. Aku takut itu. Jika kamu terus seperti ini. Keyakinan itu akan tetap bertahan dan kuyakin secara pasti akan memberi banyak arti bagi sebuah perubahan hidup yang lebih pasti” kali ini ia mulai membenarkanku.

“benar.. kau sungguh benar, Kau lihat sendirikan, kayuhan sepedaku dalam getaran karena rindu yang membuncah pada-Allah ? kau saksikan sendirikan bagaiman kamu mulai gerimis menyaksikan cakrawala senja bersama kesyukuran yang kukirim bagi Tuhan kita. Aku hanya ingin memilki cinta sepanjang masa untuk Allah, Tuhan kita. Aku ingin memilikinya. memilikinya dalam genggamanmu hingga kau bisa menghasilkan fatwa-fatwa bagiku dengan lurus dan benar. kamu juga tahu, sedari dulu do’a itu tetap sama.. “Aku hanya ingin mencintai-Mu disepanjang waktu.. Maka kumohon bantulah aku”. itu yang selalu kuungkapkan ketika kusadar bahwa diri ini selalu akan kembali kepada-Nya. Diri ini punya banyak tanggung jawab yang terus datang setiap saat. Aku hanya ingin itu. Ingin agar DIA adalah sejatinya zat yang menjadi tujuanku. Sebab kamu dan aku telah benar-benar sadar bahwa di dunia ini, hal yang paling indah adalah ketika bersama-Nya, meiliki-Nya.”

Ia mulai tersenyum. Masih dalam raut yang sukar untuk kupahami. Mungkin juga ia masih takut dan khawatir karena segala sesuatu bisa terjadi. Namun ia telah memberi fatwa buatku. Fatwa untukku agar tak lagi takut dan berani untuk mengambil segala resiko.

Kuakhiri diaolog itu. Kukepalkan jari-jariku sembari meyakinkan diri. Bahwa ini adalah sebuah langkah yang benar dan bukan perbuatan yang sia-sia. Aku tahu bahwa ini adalah kumpulan cerita yang kutunggu sedari dulu, dan baru Allah perlihatkan padaku saat ini.

…………………………………………………………………………

Kereta malam itu terus melaju. Ia mulai meninggalkan timur Formosa bergerak menuju Utara. Kulihat malam semakin gelap, sedang hatiku masih terus bertasbih mengingat-Nya. Ada rasa rindu yang membuncah dan meletup-letup seperti yang pernah kurasa ketika subuh Yogya kusambangi, atau ketika musim semi yang hangat di penguhujung Mei.

“Allah.. Apa lagi yang tersisa jika percaya ini adalah percayaku pada-Mu. Sedang engkau berkata.. ‘AKU sesuai prasangka hamba-Ku’… ” gumamku dalam hati..

Taipei, 12 Mei 2011

~ Yusuf Al Bahi ~

Iklan

2 komentar di “(Cerpen) Sebuah Dialog

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s