Bismillah…
Wah, tiba-tiba saja saya merasa begitu tua ketika anak sulung saya, Fathin, mengajukan “proposal” pernikahannya. Memang, proposal mentah yang belum detail. Tapi, sudah hampir memenuhi unsur-unsur dasar sebuah pengajuan. Fathin baru menyampaikan secara lisan. Entah, kapan ia akan benar-benar mengajukannya secara tertulis sehingga saya dan suami harus tanda tangan.
Sebenarnya, sebagai seorang ibu saya harus bangga bahwa Fathin sudah memiliki rencana masa depan terkait calon ibu anak-anaknya (waw?! cucu saya?!). Apalagi, dalam klausul pembicaraan tentang pernikahan (ihik, saya mulai merasa kehilangan), dia tidak menyebut sama sekali unsur pacaran. Wajar sih, mengingat orang tuanya juga tidak memakai fase tersebut. Artinya, apa yang dia inginkan dari seorang wanita memang menjadi istrinya, ibu anak-anaknya.
Fathin mulai mengajukan topik ini sudah sejak TK (gubrak!). Hanya saja, waktu itu masih sebatas cita-cita. Kata Fathin, “ Aku ingin menjadi pembuat mesin”. “Loh? Katanya pengen jadi ayah?”, timpal saya. “Ya, itu juga lah. Tapi, jadi pencipta mesin dulu.” Mulut saya pun membulat. Seiring berjalannya waktu, saya hampir-hampir melupakan tema itu. Nah, ternyata Fathin dan adiknya (Azizah) sering bermain “keluarga-keluargaan” dengan masing-masing berperan sebagai ayah dan ibu. Mulailah topik pernikahan ini menjadi diskusi kami, tepatnya setelah dia mulai masuk SD (umurnya 6 tahun lebih sedikit).
“Apa sih yang Abang pikir tentang pernikahan?” tanya saya.
“Ya… selalu bersama-sama, saling percaya, menyayangi dan mencintai.” Katanya penuh percaya diri. Aduh, saya terharu sekaligus berharap, itulah yang dia lihat dari hubungan saya dan suami.
“Oh, gitu. Ehm… memangnya, kenapa Abang ingin menikah?” Wah, ini pertanyaan kacau ya? Dia tersenyum, “Pengen cepat punya anak.” Waw! Benar-benar, deh saya merasa nenek! “Eng… memangnya, pengen punya anak berapa?” kejar saya. Mumpung dia sedang mood ditanyai.
“Dua, paling sedikit. Kalau bisa, banyak.” Jawabnya sambil tertawa-tawa. Lelaki sekali jawabannya.
“Abang, menjadi suami dan ayah itu bukan hanya punya uang, punya rumah. Kalau cuma seperti, banyak yang bisa. Tapi, yang paling penting menjadi suami dan ayah adalah berilmu, sholih. Jadi, istri dan anak-anaknya Insya Allah diajak untuk shalih dan shalihah.” Jelas saya.
Dia hanya mengangguk-angguk. Entah, apa yang dia pikirkan. Selama beberapa saat pembicaraan tentang pernikahan hilang dari peredaran. Kalaupun muncul, tidak sampai menjadi pembahasan. Hanya selentingan, celetukan, ocehan, dan canda dari kami atas keinginan Fathin.
Sampailah sebuah nama muncul dalam diskusi tersebut. Teman sekelas Fathin yang ternyata menjadi nominator calon menantu saya. Awalnya dia malu-malu bercerita. Saya hanya memperhatikan gelagat dan mencoba memancing. Eh, kena. Fathin mengaku juga meski dengan senyum simpul dan bibir terkatup. Hm, mungkin memang anak sekarang lebih cepat matang ya? Padahal, Fathin tidak kenal TV. Tidak hobby buku cerita. Ah, sudahlah. Yang jelas, anak saya “suka” dengan teman sekelasnya dan dia menyebutnya sebagai “calon istri”. Subhanallah.
Indikasi Fathin menyukai anak tersebut hampir-hampir tidak terlihat. Naluri keibuan saya yang membaca. Kalaupun ada indikasi yang jelas, hanyalah saat Fathin menjadi petugas doa bersama usai belajar sesi pertama (sebelum istirahat siang). Sebagai petugas, dia berhak memilih teman yang dianggap paling layak untuk keluar kelas terlebih dahulu. Nah, setelah berkeliling kelas dengan gaya mondar-mandir menyilangkan tangan di punggung, dipilihlah “calon istri”-nya itu. Anak-anak lain dia pilih kemudian dengan jeda waktu cukup lama. Padahal, mereka sudah lapar dan jengah. Apalagi, catering atau makanan hantaran sudah jelas terlihat di meja luar kelas.
Tentu saja sebagai ibu saya penasaran tentang calon menantu saya tersebut. Apalagi ketika diskusi saya dengan Fathin belum menemukan ide yang searah.
“Kenapa Abang suka dengan si Fulannah?” saya penasaran.
Dia tersenyum. “Cantik, putih, ramping. Ehm… mungil.” Jawabnya spontan. Hah?! Siapa nih yang ngajarin? Gawat.
“Loh? Memangnya kenapa begitu?” saya yakin dia punya alasan.
“Ya, Abang kan hitam (padahal, dia coklat). Nanti kalau anaknya hitam juga, bagaimana?” Walah. Saya hanya bisa tertawa. Lucu, tapi agak prihatin.
Ah, kenapa putih dianggap lebih baik? Kacau… kacau. Ada yang salah nih. Untuk sementara, saya tidak langsung meng-counter argumennya. Saya yakin ada konsep keliru yang pernah masuk ke memorinya tentang kriteria ini, terutama hitam dan putih. Tapi, berusaha mematahkan konsepnya saat itu juga, bagi saya tidak bijaksana. Jadi, pembicaraan pun kami akhiri. Lagipula, sepertinya Fathin mulai jengah karena kami sering sekali menyoal hal ini.
Ah, saya benar-benar penasaran. Jadilah saya sengaja mengamati calon menantu saya tersebut di sekolah, meski hanya sebentar. Hm, memang imut dan putih. Tapi soal cantik, menurut saya, biasa. Heleh, jangan-jangan saya cemburu? Apalagi, tipe anak tersebut lumayan manja dan prestasi belajarnya tidak menonjol. Intinya, saya tidak melihat kelebihan yang membuat saya tertarik. Nah, lo.
Serius sekali ya? Padahal, entah kapan menikahnya saja belum jelas. Fathin hanya mengatakan berencana menikah sambil kuliah di usia 18 tahun. Tuh, masih jauh. Sesosok lain justru menarik perhatian saya. Anaknya pintar (rangking 1, yang mengalahkan Fathin sebagai rangking 2). Ketua Kelas. Perolehan bintangnya (simbol memenuhi kontrak belajar dan attitude yang baik selama di kelas per harinya) banyak, paling banyak. Orantuanya saya lihat tipe keluarga harmonis yang shalih. Ayahnya sering mengantar makan siang, menunggu anak ini keluar kelas, menyerahkan makan siang sambil menciumnya. Duh. Penampilan ayahnya sederhana, dengan senyum siap terkembang dan dahinya kehitaman (khusnudzon saya, banyak bersujud).
Maka, mulailah saya mengajukan alternatif pilihan dengan mengacu pada kriteria yang saya pahami tentang anak ini.
“Abang suka nggak istri yang pintar?” pancing saya.
“Suka lah.” Jawab Fathin seketika. Saya mengangguk-angguk.
“Kalau pintar dan shalihah?” saya yakin dia akan menyetujui.
“Ya, suka lah.” Sahut Fathin cepat. Bagus… bagus.
“Kalau pintar, shalihah, trus keluarganya baik, pandai mengatur…”
“Memangnya siapa?” rupanya Fathin sudah curiga. Haiya.
“Kalau menurut ummi, si Fulanniyah itu kan pintar, buktinya rangking 1. Trus, baik, tuh bintangnya buaanyak. Trus, keluarganya baik, ayahnya baik, sayang. Trus, si Fulanniyah kan Ketua Kelas, itu satu bukti kelebihan dia yang lain. Berarti, dia pintar memimpin, mengatur, dan dipercaya oleh Bu Guru…”
“Aaaah… itu yang dimaksud? Tapi, dia kan nggak putih?” protes Fathin. Hah?! Itu lagi?!
“Ah, Abang. Kalau istri Abang baik, shalihah, pintar, kan anak-anaknya Insya Allah begitu juga.”
“Aaah. Nggak, ah. “ dia pergi. Yah, deadlock. Saya terlalu memaksa agaknya.
Pembicaraan kami tentang menikah, semakin jarang terjadi. Mungkin, karena Fathin tetap bersikukuh dengan calonnya, sementara saya juga begitu. Bagaimana lagi? Ini kan menyangkut cucu-cucu saya kelak. Saya lupa, bahwa yang berbicara dengan saya adalah anak lelaki berumur 6 tahun.
Saya lupa, bahwa masih banyak kemungkinan yang bisa terjadi, bahkan seandainya Fathin benar-benar melaksanakan rencana pernikahannya di usia 18 tahun, kelak, Insya Allah. “Bang, kenapa harus memutuskan sekarang tentang Fulanah? Siapa tahu pas Abang SMP bertemu dengan yang lebih baik lagi? Atau pas SMA?” saya mengajukan kemungkinan lain. “Enggak ya enggak. Sudah, ah.” Rupanya dia ingin saya sekata.
“Tapi, si Fulanniyah itu menurut ummi baik…. deh.” Saya angkat lagi nama yang saya incar. Fathin mengerutkan muka. “Sudah, begini saja. Kita suit saja.” Ide kanak-kanaknya keluar. Saya nginyem. Calon istri kok disuit. “Ya, sudah deh. Ummi nyerah. Yah, siapa tahu nanti Abang berubah pikiran. Atau, si Fulan menjadi lebih baik. Atau, Abang bertemu dengan yang lebih baik.” saya angkat bahu.
Mengenang kepergian salah satu penulis favorit ketika masa-masa mencari idealisme bersama ROHIS SMA N. 1 Ternate dulu. Nurul F. Huda. Saya masih ingat dengan novel serial Double F. Team-nya, hingga la tansa Male cafe. Semua cerita tersebut membuatku terbang menuju Yogya. Thanks for this articel. Love it..
sumber : http://www.nurulfhuda.multiply.com
kalo dah nulis begini nih
biasanya udah tinggal undangan aja 😉
Amiin… 🙂
Suppose, I’m stumbling to this post, thus no comment is imperative…hehe100X.
[ctrl+F4]
Fathin koq mirip2 samaaaa…. 😛 😛 😛
*sengaja mostingin ini.. 😆
semoga bisa dateng ya, ario
*emank diundang? :p
weleh2… undangan makan2 kalo lulus.. hehehe 😀
NUMPANG INFO YA BOS… bila tidak berkenan silakan dihapus:-)
LOWONGAN KERJA GAJI RP 3 JUTA HINGGA 15 JUTA PER MINGGU
1. Perusahaan ODAP (Online Based Data Assignment Program)
2. Membutuhkan 200 Karyawan Untuk Semua Golongan Individu (SMU, Kuliah, Sarjana, karyawan dll yang memilki koneksi internet. Dapat dikerjakan dirumah, disekolah, atau dikantor.
3. Dengan penawaran GAJI POKOK 2 JUTA/Bulan Dan Potensi penghasilan hingga Rp3 Juta sampai Rp15 Juta/Minggu.
4. Jenis Pekerjaan ENTRY DATA(memasukkan data) per data Rp10rb rupiah, bila anda sanggup mengentry hingga 50 data perhari berarti nilai GAJI anda Rp10rbx50=Rp500rb/HARI, bila dalam 1bulan=Rp500rbx30hari=Rp15Juta/bulan
5. Kami berikan langsung 200ribu didepan untuk menambah semangat kerja anda
6. Kirim nama lengkap anda & alamat Email anda MELALUI WEBSITE Kami, info dan petunjuk kerja selengkapnya kami kirim via Email >> http://entrydatabase.blogspot.com/
semoga saja emakmu yang sudah renta ini dapet undangan dobel ya mas ario 🙂
ceritanya bagus,,,
klu itu dr pihak orang tua yg laki2, gmn y perasaan si ayah yang anaknya bakal “diculik” orang lain?
eh ini karya Nurul F. Huda? Jadi ingat, saya pun suka novel Double F. Team itu.. Novel detektif kan ya?
saya jg suka Nurul F Huda,.. Yummy,…hehehe
mee too…
🙂