Journey to PhD (1) -Mencari Kampus S3-

Bismillah..

Ini adalah rangkuman cerita bertajuk “Journey to PhD”. Semua tulisan dalam tema ini akan mengangkat kisah studi saya hingga memperoleh gelar PhD -Insya Allah-

Setelah kurang lebih 6 bulan pencarian kampus untuk S3, kami sekeluarga mulai menemukan titik terang. Sebelum saya membahasnya satu persatu, saya ingin sekali menceritakan kisah selama mencari studi PhD ini.

Yang pertama, dan mungkin tidak banyak diketahui orang, saya pernah menjadi salah satu mahasiswa PhD di National Taiwan University of Science and Technology (NTUST), kampus dimana saya menyelesaikan studi Master saya. Saya sempat menyelesaikan 6 SKS perkuliahan selama 1 tahun sebelum memutuskan untuk mengundurkan diri dari studi PhD di sana. Keputusan mengakhiri studi ini adalah salah satu keputusan paling mumusingkan, walau tidak sampai membuat Saya stress, hanya tidak bisa tidur semalaman dan membangunkan Istri untuk memutuskan apakah saya akan melanjutkan studi S3 saya di NTUST atau tidak.

Beberapa alasan keluarga jelas menjadi pertimbangan utama kenapa saya tidak melanjutkan studi S3 saya di NTUST, walau banyak orang menyayangkannya. Alasan pertama karena saya tidak bisa pisah dengan keluarga. Saat ini, ketika DeLiang sudah berusia 13 bulan, saya mungkin lebih siap untuk meninggalkan keluarga, namun saat-saat dimana Istri saya baru saja melahirkan, dan DeLiang yang masih berusia sangat muda ketika itu membuatku memutuskan untuk menghentikan studi S3-ku disana.

Gambar

University College London (UCL)

Alasan lainnya, karena istri Saya tidak ingin melanjutkan studi S3 nya di ASIA. Dia memang pernah diterima di beberapa kampus di Inggris dan Australia namun ditolak karena kebanyakan tidak memberi beasiswa atau hanya beasiswa parsial. Karena inilah aku akhirnya berpikir dua kali untuk melanjutkan studi PhD-ku di NTUST. Jika Istri saya tidak berkenan sekolah di NTUST, sudah pasti saya akan “melarat” selama 2-3 tahun sisa studiku 😛

Hal ini juga yang menyebabkanku membatalkan aplikasi S3 ke Hongkong University of Science and Technology (HKUST) meski telah rutin berkorespondensi dengan salah seorang profesor muda di sana. Aku memilih mengalah. Pertama kali rasanya memang tidak nyaman karena kebiasaanku yang selalu meprioritaskan bekerjasama dengan profesor-profesor di Asia. Menurutku style mereka cocok dengan saya. Namun semakin kesini, akhirnya saya berdamai dengan diri saya sendiri dan mencoba “mengalah” untuk mencari informasi studi S3 di Eropa.

Adanya beasiswa DIKTI

Yang paling menyenangkan di Indonesia adalah kemudahan mencari beasiswa S3. Beberapa tahun terakhir, DIKTI memang gencar memotivasi dosen untuk melanjutkan studi S3 di luar negeri. Bahkan konon katanya, setiap tahun kuotanya selalu unlimited karena sedikitnya dosen yang ingin bersekolah ke luar negeri. Kendala terbesarnya tentu saja BAHASA.

Selain DIKTI, mulai tahun 2013 ini, tersedia beasiswa bagi semua warga negara Indonesia dengan latar belakang pekerjaan tidak terbatas dari Lembaga Pengelolaan Dana Pendidikan (LPDP) sehingga membuka kesempatan kepada siapa saja untuk melanjutkan sekolah di dalam maupun luar negeri. Saya tentu saja salah satu diantara banyak orang Indonesia yang sangat senang mendengar program ini.

Kelebihan dua beasiswa ini adalah tidak membatasi negara yang kita tuju. Alokasi dana untuk masing-masing negara sudah disiapkan dan berdasarkan informasi dari rekan-rekan Saya di Inggris, Australia, maupun di beberapa negara Asia seperti Jepang dan Taiwan, beasiswa DIKTI dan juga LPDP ini sangat cukup untuk hidup dan bersekolah di sana meskipun biasanya dananya di rapel 3 atau 6 bulan sekali 😛

Gambar

Imperial College of London

Mulai mencari sekolah

Semenjak akhir tahun 2012, saya sudah sibuk mencari kemungkinan sekolah S3 sekeluarga. ETH Zurich – Swiss adalah salah satu kampus yang kutuju karena salah satu riset yang dijalankan profesor di sana sesuai dengan minatku. Namun setelah menelusuri web ETH-Zurich, mencari tahu kondisi Swiss, terutama masalah cuaca akhirnya aku memutuskan untuk tidak melamar ke ETH-Zurich.

TU Delft juga salah satu kampus yang sempat kulirik. Sebagai informasi, berdasarkan rilis ranking yang dilakukan oleh Times Higher Education World University Ranking, ETH-Zurich dan TU Delft ini menempati ranking 8 dan 32 di dunia dalam bidang engineering dan Technology, jadi kualitas kampus ini memang sudah tidak diragukan. Selama pencarian kampus S3, ada beberapa kriteria yang kupakai untuk menentukan lokasi sekolahku.

Yang pertama adalah harus di Eropa atau Australia. Karena alasan inilah, Saya memilih kampus-kampus seperti ETH-Zurich dan TU Delft. Menjelang kegiatan konfrensku di Bali yang dipanitiai oleh Istri saya karena dilaksanakan oleh Teknik Infomratika ITS, Saya sempat berbubah haluan untuk memilih National University of Singapore (NUS). Istriku juga setuju jika NUS bisa dijadikan sebagai alternatif, selain secara ranking NUS menduduki ranking 12 untuk bidang Engineering dan Technology, kami merasa bahwa jarak Singapura dan Indonesia sangat dekat sehingga memudahkan kami untuk kembali ke Indonesia jika sedang liburan. Alasan lainnya, karena salah satu invited speaker conference yang kuikuti di Bali tersebut mengundang salah satu profesor dari NUS. Saya bahkan sudah mencari tahu dengan sangat detail cara memasukkan aplikasi beasiswa S3, kondisi perkuliahan, hingga prosedur studi kita hingga lulus S3. Namun pada akhirnya kuurungkan karena menemukan tempat yang lebih baik.

Yang kedua adalah Kecocokan profesor. Sebenarnya ini menjadi kriteria utama dalam mencari kampus. NUS yang akhirnya kami batalkan, salah satu pertimbangannya karena saya belum menemukan pembimbing yang pas dengan minat riset saya.

Yang ketiga adalah biaya hidup di negara tersebut. Ini juga menjadi persoalan utama. Meskipun beasiswa DIKTI katanya cukup memadai, namun tetap beberapa kota penting seperti Sydney, atau London tentu sangat mahal terutama masalah akomodasi.

Yang keempat adalah Ketersediaan pendidikan anak yang gratis atau murah, serta nyaman untuk lingkungannya. Kelebihan sekolah di Luar Negeri adalah sistem pendidikan mereka sudah sangat mapan dan nyaman untuk usia sekolah, tinggal kedua orang tua dari anak yang bersangkutan mau mendidik pengetahuan-pengetahuan mendasar tentang Islam.

We finally found it

Akhirnya setelah berburu kampus berbulan-bulan, kami mulai mengkerucutkan satu negara tujuan keluarga kami. Yaitu UK, United Kingdom alias Inggris. Salah satu alasan yang bikin kami serius untuk mempersiapkan studi di sana adalah sekolah anak milik pemerintah sudah bisa dimulai ketika anak berusia 3 tahun, ini berarti DeLiang, pada tahun 2015, bisa bersama berangkat dengan orang tuanya untuk sekolah. Bedanya, kami sekolah S3, DeLiang masuk Nursery School 😀

Setelah memutuskan UK, saya lalu mencari berbagai informasi PhD berdasarkan kriteria di atas, termasuk mengontak beberapa mahasiswa yang ada di sana, baik itu teman saya ataupun yang saya dapat kontaknya dari internet.

Dalam 3 bulan terakhir kami semakin mengerecut kepada tiga kampus.

Pertama adalah Imperial College of London (ICL), kampus ini dalam ranking yang dikeluarkan QS University Ranking berada pada ranking 6 dunia dan ke-3 di Eropa. Yang lebih mengejutkan, ternyata Teknik Sipil ICL dalam rilis ranking QS University tahun 2012-2013 berada pada urutan 1 dunia menggungguli kampus-kampus teknologi lain seperti MIT, CALTECH, atau TITECH. Sedangkan menurut versi Times Higher Education World University Ranking (THES), ICL berada pada posisi 8 dunia, dan ranking 10 dunia bidang Engineering dan Technology. Ranking QS memang telah dinilai hingga ke jurusan, sedangkan THES hanya menggunakan kategori umum. Namun jika saya ditanya, mana yang lebih baik, saya akan memilih THES.

Di kampus ini saya sudah menemukan 3 profesor yang bisa saya jadikan supervisor. Dua profesor dalam bidang Earthquake Prediction dan 1 profesor dalam bidang material. Namun setelah beberapa waktu mencari profesor di kampus lain, ICL menjadi prioritas ke tiga yang akan kami tuju.

Kedua adalah University College Londong (UCL). Universitas ini berada pada ranking 17 dunia menurut versi THES dan ranking 35 dunia untuk bidang Engineering dan Technology. Sedangkan untuk versi QS, UCL berada pada posisi 4 dunia dan ranking 48 dunia untuk bidang Teknik Sipil. Di UCL ini justru banyak bidang riset yang sangat pas dengan saya dan Istri. Ada beberapa profesor yang sudah kami tentukan untuk menjadi supervisor kami nanti.

Ketiga adalah University of Cambridge. Ini mimpi yang almost impossible. Sayapun beranggapan sangatlah sulit menembus kampus sebesar dan seberkualitas University of Cambridge (UC). Walaupun UC ditetapkan sebagai universitas terbaik ke-7 dunia dan ke-5 dalam bidang Engineering dan Technology oleh THES, namun QS justru menempatkan UC di ranking 22 dalam bidang Teknik Sipil. Sedangkan Computer Science berada pada ranking 5. Informasi profesor di bidang Teknik Sipil di UC memang menunjukkan bahwa UCL dan ICL bahkan lebih unggul. Bidang-bidang riset terintegrasi dan ditampilkan dengan sangat baik di web kampus UCL dan ICL. Beberapa profesor di UCL dan ICL juga cukup mengungguli UC dalam hal riset dan publikasi. Jadi walaupun secara ranking cukup baik, namun untuk subject Teknik Sipil sepertinya UC bukanlah yang terbaik di UK.

Gambar

University of Cambridge

Dari ketiga universitas ini, kami memutuskan untuk memprioritaskan University of Cambridge, kemudian UCL dan yang terakhir adalah ICL.

Pertimbangan utamanya karena saya menemukan profesor yang paling cocok justru di UC. Construction Informastion Technology Laboratory (CIT Lab) adalah lab yang hendak saya tuju. Lab ini benar-benar cocok dengan minat saya untuk riset selama PhD.

Alasan kedua adalah karena terdapat Nursery School untuk mahasiswa yang membawa keluarga yang berlokasi di dalam kampus. Hal ini tentu memudahkan saya dan Istri untuk berinteraksi dan mengontrol perkembangan DeLiang.

Alasan yang ketiga, tentu saja karena University of Cambridge termasuk kampus impian siapapun selain MIT, Harvard atau Oxford University. Tentu bukan untuk membangga-banggakan diri (Saya berlindung dari Allah jika merasakannya), namun saya merasa bahwa jika ada peluang masuk ke kampus yang terbaik, kenapa tidak? Jika bisa mengejar mimpi hingga kasta tertinggi, kenapa tidak dilakukan? Dan UC adalah impian yang almost impossible. Bahkan ketika saya mengetik inipun saya masih merasa impossible, namun keyakinan saya tetap bulat. Akan saya perjuangkan. Insya Allah.

Dan yang keempat, karena Cambridge adalah non-London. UCL dan ICL menjadi berat karena kedua kampus ini berada di London. Sebagai informasi, biaya akomodasinya super mahal. Bahkan rekan saya disana mengatakan tidak manusiawi :P, walau setelah browsing sebenarnya cukup untuk hidup disana bermodal beasiswa DIKTI suami-istri, namun saya tetap merasa bahwa sebaiknya menuju kota non-London. Lalu kenapa tidak ke Manchester atau Edinburgh University? Dua kampus ini termasuk leading di UK. Sayangnya sampai sekarang saya belum menemukan profesor yang cocok dengan bidang riset saya, sama halnya dengan Oxford University selain karena letak Manchester dan Edinburgh ini berada di Utara UK yang tentu saja sangat dingin 🙂

Begitulah kisah mencari sekolah untuk PhD, yang jelas di Inggris kultur pendidikannya sangat berbeda. Berikut saya kutip pernyataan rekan saya Abu Naufal yang sedang studi di ICL, sesama alumni NTUST.

Secara umum, saya ngerasa disini pressure nya gak sebesar di NTUST. Tapi memang tergantung supervisor sih. Dan disini supervisor nya lebih santai dan supportive banget. Kulturnya beda sih mas. Disini kita sama supervisor biasa panggil nama aja, jadinya memang lebih luwes komunikasinya.

Tapi ekspektasi supervisor memang besar. Mereka biasanya selalu bawa2 reputasi ICL untuk mendorong kita punya inovasi yang oke dalam riset kita. Disini kultur pendidikan bagus dan terorganisir. Menurut saya jauh lebih well organized dari NTUST.

Dan yang penting (ini sih saya membandingkan dengan supervisor sy di NTUST), orang2 disini lebih punya life. Weekend bisa santai. Hehehe.

Masih panjang perjalanan kami untuk bisa studi di UK. Saya masih harus mempersiapkan nilai IELTS saya agar bisa di atas 7, karena UC meletakkan syarat IELTS minimal 7, meskipun UCL dan ICL “hanya” 6.5. Kemudian rekomendasi, CV yang baik, juga persiapan riset dan bidang keilmuan yang akan saya geluti, yang tentu saja tidaklah mudah.

Masih berikhtiar sebaik mungkin, berdo’a sekuat-kuatnya. Lalu jadikan mimpi ini menjadi nyata.

Semangaat!

Sumber gambar:

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Iklan

8 komentar di “Journey to PhD (1) -Mencari Kampus S3-

  1. Ping balik: Journay to PhD (2) -Mencari Beasiswa S3- | Menjadi Sederhana Itu Indah…

  2. Ping balik: (Q&A Beasiswa) Bagaimana Mencari Beasiswa S3? | Menjadi Sederhana Itu Indah...

  3. assalamualaikum mas,mohon maaf sebelumnya,saya juga sedang mencari study s3 di luar negeri,namun master saya dari indonesia,sebagai informasi saya sedang mencari phd bidang islamic finance law,saya alumni unair,mohon informasinya mas apabila ada kontak di uk yang bisa saya hubungi,terima kasih sangat,wassalamualaikum

  4. Slm dari timur indonesia, Terima ksh,,, infonya sangat bermanfaat, Sy salah satu yg sedang mencari kampus untk mlanjutkan study s3 diluar negeri. Sy menyelesaikan S2 teknik mesin konversi energi dlm negeri, Mhn bantuan infolbh lanjut bgmn memperoleh beasiswa diluar negeri khususnya di uk. Thanks

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s