Ini adalah bagian dari rangkaian tulisan perjalanan saya ke Seoul – Korea Selatan bertajuk Korea 2013. Rangkuman ceritanya ada disini
Bismillah..
Aku terbangun pukul 1 siang dengan mata yang masih mengerjap. Aku mengamati kesekeliling kamar hostel yang cukup sempit ini dengan pikiran kebingungan. Begitulah, setiap kali tertidur pulas dan terbangun di tempat yang asing, aku selalu kebingungan. Kubuka selimut tebal yang menghangatkanku selama di dalam kamar. Kunyalakan lampu lalu menuju kamar mandi untuk mandi dan wudhu.
Tubuh terasa sangat segar ketika air hangat dari shower mulai membasahi tubuhku. Mandi di shower seperti ini selalu mengingatkanku dengan apartemen kami di Taiwan. Melewati musim semi di Seoul yang cukup dingin untuk ukuran orang tropis sepertiku memang membuat mandi air hangat terasa sangat menyegarkan.
Aku bersujud siang itu menghadap Allah dengan rasa syukur yang tak terkira. 4 rakaat Jamak qashar duhur dan ashar kutunaikan dengan perasaan lega tak terkira. Aku menyempatkan menghidupkan internet dan mengontak istriku via YM. Semenjak menikah, rasanya teman paling setia untuk mengobrol banyak hal adalah istri tercinta.
“Abi siap-siap mau conference nih mi” Sapaku.
“But do you know what is the main problem?” Lanjutku
“Food!”
Istriku hanya tersenyum menjawabku sembari mendoakan kelancaran aktivitasku selama di Seoul.
Aku kemudian bersiap-siap menuju conference. Batik cokelat, celana hitam dan jas hitam serta sepatu fantovel cokelat kugunakan sebagai pakaian conference-ku. Cukup untuk sekedar memperkenalkan bahwa Indonesia selalu identik dengan batik.
Aku membawa tas ransel hitam berisi laptop dan tas kecil yang biasanya berisi peralatan-peralatan pelengkap selama perjalanan seperti kamera, makanan kecil, peta Subway Seoul, peta Seoul, hingga buku Muhammad Al Fatih-nya Felix Siauw.
Kubuka pintu kamar dan menitipkan kunci kamar hostel ke penjaga hostel. Seorang wanita Korea berumur 30-an tahun yang sangat ramah. Aku menanyakan jalur subway yang kugunakan menuju Mercure Seoul Ambassador Hotel tempat ICNCT berlangsung. Dia menunjukkan stasiun subway terdekat dari lokasi hostelku. Stasiun ini bernama Hyehwa Station. Aku menandainya dengan stabilo hijau dan menarik garis rute perjalananku menggunakan Subway.
Ada 2 stasiun transfer yang harus kulalui sebelum tiba di Yeoksam station tujuanku. Yang pertama, aku akan berhenti di Stasiun Chungmuro kemudian menggunakan jalur cokelat aku akan bergerak menuju stasiun Seoul National University of Education sebelum menuju Yeoksam Station.
Ada satu masalah yang masih mengganjal diotakku. Masalah yang beberapa waktu lalu kudiskusikan dengan istriku. Apalagi kalau bukan makanan. Perutku sudah mulai keroncongan karena hanya sarapan nasi lemak di dalam pesawat yang kumakan semenjak pukul 6 pagi tadi. Badan yang kelelahan juga perjalanan panjang selama belasan jam membuat fisikku butuh tambahan energi.
“Namun dimana bisa kudapatkan makanan halal?”
Ini menjadi pertanyaan paling mendasar yang kupikirkan ketika hendak berangkat ke Seoul. Pengalaman 3 tahun hidup di Taiwan jelas sangat membantku. Sebelum tiba di Hostel aku sudah mengetahui ada dua 7-11 yang berlokasi dekat dengan hostelku. Satu 7-11 bahkan hanya berbeda beberapa gedung dari gang menuju Hostel tempat tinggalku. Jika ada 7-11 maka bisa dipastikan akan ada nasi putih disana. Aku sudah merencakan untuk membeli nasi putih lalu menghangatkannya di penghangat dan menikmati menu makan siang super sederhana hari ini. Apalagi kalau bukan Nasi dan Abon. Biarpun sederhana, yang penting halal. Dari pada enak tapi tidak halal?
Aku keluar hostel kemudian belok ke kiri menuju 7-11, kucari nasi putih di 7-11 yang diletakkan di ujung rak bagian depan. Harganya 100 won. Aku membeli 2 bungkus nasi yang dikemas dalam bentuk mangkok plastik. Satu bungkus nasi tentu saja untuk persiapan malam nanti. Jika kurang aku akan membelinya lagi ketika kembali dari conference.
Pandangan mataku kemudian menyusuri seluruh sudut 7-11 yang berukuran sebesar tiga kali kamar kos-kosan sederhana di Surabaya, aku mencari mesin penghangat makanan yang umumnya selalu ada di setiap 7-11. Beruntung, di pojok kiri 7-11 ini kutemukan sebuah mesin penghangat makanan. Sama halnya dengan mesin penghangat lainnya, selalu ada angka-angka yang menunjukkan waktu lamanya kita memanasi makanan. Namun malang memang tak dapat ditolak, semuanya tertulis dalam bahasa Korea. Aku berdiri terpaku menatap mesin ini. Kulihat petugas 7-11 sangat sibuk dengan pembeli siang itu sehingga kutunggu sejenak sebelum meminta bantuannya menjelaskan cara memakainya.
Setelah berkurang para pembeli yang mengantri, aku meminta tolong gadis berumur belasan tahun itu untuk memanaskan nasiku. Lagi-lagi, nasibku kurang beruntung, dia tidak mengerti sama sekali apa yang saya katakan dan hanya menunjuk-nunjuk mesin penghangat tadi. Karena tidak enak mengganggu dan antrian pembeli sudah mulai muncul, aku akhirnya memutuskan untuk menggunakan sendiri mesin penghangat ini dengan cara coba-coba. Dua kali kucoba memasukkan nasi dan menekan beberapa tombol yang kukira adalah tombol untuk menyalakan mesin penghangat ini. Namun apa mau dikata, aku gagal melakukannya.
Setelah beberapa kali mencoba, aku akhirnya menyerah dan mengambil posisi duduk di pojokan 7-11 sambil menikmati nasi dingin ini beserta abon dengan perasaan campur aduk. Antara lapar, marah, merasa goblok, dan tentu saja dengan penyesalan yang luar biasa.
Aku memakan nasi deangn abon sapi siang itu dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Aku mencoba menyegarkan moodku dengan berbincang beberapa saat bersama seorang gadis yang juga sedang menikmati makanan ringan di 7-11. Sayangnya kami tidak banyak berbicara karena kendala bahasa, meski hampir semua orang Asia Timur selalu ramah ketika diajak bicara.
Aku menelan makanan dengan setengah hati, rasa sesalku memuncak setelah tahu bahwa abon yang kubawa justru rasanya seperti abon yang overcook. Akhirnya dengan berat hati, meski perut masih keroncongan, aku hanya menyelesaikan seperempat nasi dingin dari makan siangku ini. Hal ini tentu saja membuat mood-ku rusak menjelang conference. Lapar, makanan salah beli, dan kejadian nasi dingin yang harus kumakan. Semuanya menjadi sempurna dengan lelahnya tubuh karena perjalanan yang jauh.
Aku kemudian mencoba berdamai dengan keadaan dan memilih meninggalkan 7-11 menuju stasiun Subway – Hyewa terdekat. Mood hari ini tidak boleh rusak hanya karena gagal memakan makanan sesuai rencanaku.
Kuambil ransel dan tas kecil kemudian bergegas keluar berjalan menyusuri trotoar disekitar jalan kecil menuju hostelku. Angin musim semi perlahan menyentuh tubuhku. Rasa dingin dan hangat bercampur menjadi satu karena hari ini matahari bersinar begitu terangnya. Aku mencoba memperbaiki suasana perut dan juga hatiku dengan mendengarkan beberapa musik tahun 90-an dari MLTR, Bakstreet boys, serta Robbie Williams. Aku menikmati beberapa lirik lagu-lagu ini sambil memandang kesekelilingku. Melihat Seoul dalam wajah musim seminya yang sudah hampir berakhir.
Bersambung
wow….
korea…
salah satu mimpiku pergi ke sana 🙂
Ini sudah di Seoul. Kemarin yang ku baca di catatan halaman masih kendala-kendala keberangkatan. Pengen baca yang lainnya juga, 🙂
Saya senang baca tulisan-tulisan seperti ini pak. 🙂
Oia, saya juga suka ‘Bakstreet boys’
Ini yg bagian 3. Ada bagian 1 sampe 2. Selamat menikmati 😀
Bagian 1nya aku belum baca pak. Saya belum menemukan.
Coba klik tag yang ada tulisan “KOREA” ada di sana..
Makasih infonya pak. Coba saya cari,