Review Buku Notes of 1000 Days in Taiwan

Notes of 1000 days in Taiwan; Ketika Seorang Da’i Berkisah

Kita adalah da’i sebelum menjadi yang lainnya

Kita mesti berhati-hati ketika sehari lewat tanpa sebuah hikmah. Karena itu tanda bahwa dalam sehari itu tidak ada hal baru yang kita peroleh. Dan seorang da’i yang senantiasa bergerak, akan berada dalam kegelimpangan hikmah. Ia bisa peroleh itu dari membaca buku, bergaul, maupun bepergian.

Itu salah satu kesimpulan saya setelah membaca buku “Notes of 1000 days in Taiwan”; sebuah bunga rampai yang disusun oleh Ario Muhammad—penyandang gelar S2 di Taiwan, seorang suami, ayah, dan tentunya pekerja dakwah—selama ia tinggal di Taiwan.

Cover

***

Tidak seperti buku serupa, buku Ario ini berkisah lebih dari sekadar pengalamannya studi di Taiwan, tapi juga perenungan-perenungan spiritualnya. Beberapa buku tentang studi atau jalan-jalan ke luar negeri yang sudah pernah saya baca, biasanya berhenti sampai pengalaman belajar, kuliner, jalan-jalan, dan kesan pesan tinggal di negeri orang. Sementara buku Ario ini punya nilai plus karena memuat soal pengalaman spiritual juga, yang tertuang lewat tulisannya tentang perenungan-perenungan.

Saya terhenyak di halaman 30—bukunya Ario ini. Dalam tulisan berjudul “Spring Note—Di sudut Kontemplasi”, Ario mulanya mendeskripsikan tentang suasana sore itu. Tulisnya:

Dalan suatu perjalanan mengantarkan teman-teman dari Indonesia, kami melawati jalanan Taipei yang ramai. Hatiku berdesir tiba-tiba ketika kulihat bunga sakura mulai bermekaran di samping-samping jalan…

Saya membayangkan suasananya, seiring kalimat yang saya baca. Kemudian hanyut, ikut ke dalam perasaan Ario kala itu yang ingat akan kampung halaman yang menyajikan suasana berbeda namun indah juga, dan merasakan perasaan yang menghangatkan hati karena betapa Allah swt memberikan nikmat yang begitu banyak, namun luput dari kesyukuran kita.

Dalam tulisan itu, termuat do’a Ario yang indah:

Allahumma, jika aku boleh memilih, matikan saja aku dalam keadaan seperti ini. Keadaan yang membuatku segar dan merasa nyaman memiliki-Mu…

Kemudian, Ario dengan syahdu mengantarkan kita untuk merenungkan surat Ar-Rahman dan Al-Waqi’ah. Inspirasinya dari sakura yang bermekaran itu saja. Hal kecil, tapi mengundang hikmah.

Bukan hanya di tulisan yang saya singgung barusan, hampir semua tulisan dalam buku ini menyajikan peristiwa kecil sehari-hari yang mengundang perenungan di kemudian. Dialog dengan teman lab-nya, dengan para TKI di Taiwan, hingga perkataan dosen di kelas pun (tentang struktur bangunan dan semacamnya) dihubungkan oleh Ario dengan kebenaran ayat suci  Al-Qur’an.

Begitulah sejatinya da’i; matanya, pendengarannya dan perasaannya peka menangkap hikmah. Ia butuh itu untuk kemudian disampaikan kepada orang lain baik lewat tulisan maupun lisan. Ia butuh itu untuk menggerakkan hati orang lain yang menyimaknya agar juga merasakan hikmah yang bertebaran di muka bumi.

***

Buku Ario, adalah buah dari ketekunan. Dulu saya mengenal Ario dari Multiply. Dibandingkan dengan tulisannya dulu di Multiply, di buku ini tulisannya lebih enak dibaca—begitulah kiranya penilaian seseorang yang malas membaca macam saya.

Ario detail sekali menggambarkan tiap lekuk tempat yang ia kunjungi, dengan kalimat yang tidak terlampau bertele-tele. Coba saja buka halaman 69-70, yang bercerita tentang bunga sakura yang bermekaran di Tainan Park. Membaca bagian itu, angan saya dibawa sampai ke Taiwan, meninggalkan jasad saya yang terduduk kaku memegang buku Ario ini.

Selain detail dalam menggambarkan tempat, Ario juga detail bercerita tentang lika-likunya meraih beasiswa; syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan kejar-kejarannya dengan tenggat waktu pengumpulan aplikasi beasiswa. Bagian ini, bisa menjadi masukan untuk mereka yang berminat studi di Taiwan.

Beberapa tulisan di buku ini juga disampaikan dengan gaya bercerita yang asyik, seperti membaca novel fiksi. Buka saja halaman 114-120, yang bercerita tentang kehadiran buah hati Ario dan Ratih, Muhammad DeLiang Al-Farabi. Cerita tidak dimulai dengan bahasa yang kaku. Cerita dimulai dari adegan Ario yang menyetop taksi dengan tergesa, kemudian baru flashback kejadian 10 menit yang lalu yang menjawab pertanyaan; kenapa Ario buru-buru begitu?

Begitu juga dengan tulisan berjudul Suatu Siang di Musim Panas. Kisah dibuka seiring Ario yang membuka mata karena tertidur menunggu sang istri yang sedang ujian tesis.

Aku tertidur pulas dalam mimpi singkat yang terlupa apa isinya. Mataku mengerjap setelah kulit tanganku seperti terasa gatal. Lamat-lamat aku tersadar bahwa DeLiang masih ada di pangkuanku, dia juga tertidur pulas…

Enak bukan, dibacanya? Rasanya seperti membaca kisah fiksi, padahal nyata.

***

Akhirnya, harus saya katakan bahwa buku ini wajib dibaca oleh Anda yang mau kuliah di Taiwan (karena ada info juga tentang seluk beluk kuliah di sana), sekadar jalan-jalan ke Taiwan, dan atau sekadar mengencangkan semangat yang mengendur (agaknya yang terakhir inilah alasan terbesar saya).

Buku ini adalah bukti, bahwa pengalaman spiritual bisa diperoleh di mana saja, termasuk di negara seperti Taiwan.

Lagi-lagi saya akan mengatakan; begitulah sejatinya da’i. Di mana bumi dipijak, di situ selalu ada hikmah, selalu ada ladang amal. Sementara untuk orang yang kepekaannya tak terasah sama sekali, pergi ke Tanah Suci Mekkah pun tidak meninggalkan jejak spiritual apa-apa. Banyak ‘kan buktinya?

 Terus berkarya, Ario!

Temenmu yang ceplas-ceplos,

Aida Hanifa

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s