Review Buku Notes of 1000 Days in Taiwan (2) – Cerita Kaum Minoritas Muslim Memperjuangkan Islam

Judul Buku : Notes of, 1.000 Day in Taiwan

Penulis : Ario Muhammad

Penerbit : Diva Press

Cetakan : I, Oktober 2013

 

Hidup sebagai kaum minoritas di negeri orang berbekal beasiswa yang pas-pasan tentu bukan alasan untuk melegimitasi sebuah kekalahan. Justru, semua itu merupakan pelecut semangat untuk selalu berjuang menunjukaan kemampuan dan jati diri.  Mesti itu sangat berat, tapi Ario Muhammad membuktikan itu. Dan, lewat buku inilah Ario membagi catatan penuh inspirasi tentang perjuanganya melewati masa-masa sulit itu.

Selaku mahasiswa muslim, sesampainya di negeri Formosa tentu kendala yang pertama kali menghadang adalah masalah menjalankan ibadah dan mempertahankan jati diri. Ario tiba di Taipei pas bulan puasa. Ia sempat khawatir tentang buka dan sahurnya. Namun ternyata di sana, Ramadhan tetap semarak. Ada dua masjid yang menyiapkan buka puasa, yaitu Grand Mosque dan Taipei Cultural Mosque. Umumnya mahasiswa NTUST asal Indonesia bersama-sama  datang ke sana. Sedang untuk sahur para mahasiswa itu pun rela menjadi tukang cuci piring kotor seusai berbuka. Dari situ, mereka akan mendapatkan sumbangan nasi dan lauk yang cukup untuk makan sahur. Sedang untuk masalah shalat, Ario berserta teman-temanya sesama mahasiswa muslim yang biasanya hanya berjamah di kamar, terhitung sejak 2012 di kampus sudah punya mushalla yang merupakan hasil proses panjang perjuangan oleh organisasi Islam di NTUST. (halaman. 50)

Cover

Sebenarnya kendala beribadah dan persolaan yang timbul dari adanya perbedaan keyakinan tak begitu bermasalah. Selama bisa menjaga jati diri dan menjelaskan dengan benar, tentu mereka akan menghormati dan toleran. Memang bagi para mahasiswa dan profesor di sana, apa yang dipraktekkan para mahasiswa muslim, termasuk penulis terkait dengan aktivitas dan ibadah adalah pengetahuan baru yang membikin takjub. Seperti saat Ario memaparkan tentang waktu-waktu shalat dan puasa Daud yang selalu ia laksanakan. Seorang profesor yang sempat penasaran dan menayakan hal tersebut hanya bisa takjub. (hal.55-57)

Sudah menjadi tradisi di dunia pendidikan Taiwan, setiap tahun selalu diadakan festival hari guru. Ario mau tak mau harus ikut dalam acara dinner yang dilaksanakan oleh lab-nya untuk merayakan Tiacher Day ini. Masalahnya dalam acara begitu pasti ada daging babi dan minuman beralkohol. Untuk menyikapi ini, Aria pun membawa abon ikan dan selain nasi ia hanya makan menu seafood yang tersedia di resto itu. Tak disangka, ditengah pesta Ario malah ditodong masalah poligami. Untung ia bisa menjelaskan, mesti sepertinya kurang memadai karena kondisi dan waktu yang tidak memungkinkan. Selain itu, yang menjadi titik ketertarikan teman-teman Ario pada Islam menyentuh juga pada hal-hal yang mewajibkan mandi besar, dll.

Selain membagi tantangan saat menyikapi perbedaan, dalam buku ini Ario menjelaskan beratnya perkulihan di sana, terlebih beasiswanya untuk menyabet gelar master sangat bergantung pada prestasinya. Pada semester pertama Ario mengambil 12 kredit. Ini bukan perkara mudah, karena harus menyelesaikan dua paper setiap minggu, home work tiap mata kuliah, dan bahan-bahan riset mewarnai hari-hari di sini. Kuliah dilakukan selama 3 jam, dengan break 10 menit setiap kuliah telah berjalan 50 menit. Untuk menyabet gelar Ph.D di sini cukup sulit. Ario memaparkan syarat-syaratnya yang memang cukup rumit dan berat.Namun ada juga mahasiswa asal Indonesia yang bisa menyabetnya dalam waktu 2 tahun 4 bulan. Sulit dan tidaknya memang tergantung sang mahasiswa, Ario menyimpulkan. (hal 124).

Seabrek tugas dan ketatnya perkuliahan ditambah dengan perbedaan budaya dan keyakinan, memang tak jarang membuat stress. Untuk menetralisir beban dan tekanan itu, Ario merekomen beberapa cara yang bisa diambil, seperti traveling atau jalan-jalan, bersepeda, mengambil jeda untuk sekedar nongkrong, beriteraksi dengan para buruh migran, bisa juga dengan shalat dan berdo’a. (hal.147-159)

Tak ketinggalan juga, Ario membagi pengalaman unik selama dengan profesor, seperti tidak adanya kursi di ruang kelas untuk profesor, yang berarti mereka harus terus berdiri selama menyampaikan materi. Lelah? Tenyata yang kelelahan adalah mahasiswanya. Dan semakin senior sang profesor malah semakin semangat semangat sehingga kian tak merasa kelelahan meski tanpa duduk. Selain itu yang unik lagi, bila ada mahasiswa yang tidak tampak mengikuti perkulihaan, atau mungkin telat datang, maka tak dihukum dan yang tak datang tak segan sang profesor menelpon sang mahasiswa tersebut. ( hal.183-191).

Terakhir, sang penulis membagikan kisah manisnya bertemu dengan seorang cewek yang ternyata kepingan tulang rusuknya yang hilang dulu. Membaca kisah dalam buku ini, menjadikan kita mengerti bahwa selama kita berani mengatakan bisa dengan tetap bersandar kuat pada kekuasaan sang Esa, maka tak ada lagi yang dapat memustahilkan sebuah mimpi untuk bermetamorfosis menjadi realita. Dan satu pelajaran lagi yang tersisip dalam sepirit buku ini adalah di mana pun, dalam kondisi bagaimana pun, dan dengan alasan apa pun, identitas kita sebagai seorang Islam tak boleh luntur sedikit pun. Dengan begitu semua persoalan yang muncul akan menjadi pelajaran yang berharga untuk kedewasaan keagamaan kita. Selamat membaca!

Resensor: Moh. Romadlon. Penulis lepas. Tinggal di Kebumen.

Sumber: http://wasathon.com/resensi-/view/2013/12/03/cerita-kaum-minoritas-muslim-memperjuangkan-islam

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s