Bismillah..
Ini adalah rangkuman cerita bertajuk “Journey to PhD”. Semua tulisan dalam tema ini akan mengangkat kisah studi saya hingga memperoleh gelar PhD -Insya Allah-
Terus terang, saya masih menyimpan secercah harapan untuk bisa menembus TU Delft Belanda.
Inikah obsesi?
mungkin saja.
Anda bisa menyebutkan dengan bahasa yang mungkin mengggambarkan kengototan saya. Tapi sepertinya, jalan saya adalah menuju Bristol University – Insya Allah 🙂
Kemarin malam, untuk kesekian kalinya, email ditolak sebagai salah satu calon penerima beasiswa PhD position di TU Delft datang lagi. Ini adalah aplikasi saya yang ke-21.
Dear applicant,
Thank for your interest in our vacancy for a PhD Reinforced Concrete Structures. I apologise for this late reaction, but we have received more than 150 reactions. It took some time to make a selection.
The selection committee has now made a first selection based on qualifications and motivation. I regret to inform you that your application did not sufficiently match the required profile. Therefore, your application is not selected for further consideration. The committee would like to express its appreciation for the trouble you have taken.
We wish you all the best in your future career and thank you for your interest in working at Delft University of Technology.
Kind regards,
on behalf of the selection committee,
Sedih?
Biasa saja.
Kegagalan yang berulang akan membuatmu biasa. Karena sesakit apapun, semuanya hanya masalah pembiasaan
Saya akhirnya menyadari bahwa kemampuan saya untuk menembus PhD position masihlah jauh dari ideal. Dilain sisi, saya juga sangat bersyukur pernah melewati proses wawancara bersam dua orang Prof. terbaik dibidang Self Healing Concrete dari TU Delft. Kegagalan ini memacu saya untuk menaklukan TU Delft suatu saat nanti. Well, we don’t know our future! Who knows I will be there as postdoctoral student? 😛 *ini mah ngarep*
Untuk membangkitkan lagi semangat belajar saya, saya mencoba berkorespondensi (lagi) dengan calon Supervisor saya Dr. Katsu Goda seorang Senior Lecturer Asli Jepang yang menamatkan S3 dan Post-Docnya di Canada lalu kemudian mengadu nasib di Bristol. Setidaknya itu yang beliau ceritakan kepada saya kenapa sehingga bisa tiba di Inggris.
Saya menanyaka beberapa hal yang sepele namun penting seperti course requirements selama S3 juga first year review of my PhD. Ketika wawancara DIKTI kemarin, salah satu Prof. ITB yang alumni UK mengingatkan saya untuk hati-hati di first year review ini karena bisa jadi saya diturunkan levelnya ke Master. Apalagi beliau juga nambah embel-embel begini.
It will be more difficult if you have a supervisor not originally from UK. He will not have enough arguments to convince the board committees in order to allow you to continue your PhD study.
Lebay ga sih? hahaha.. Maksudnya baik memang 😛
Saya pengalaman melihat suasana PhD di Taiwan yang juga ga kalah serem. Selain pengalaman, saya juga pernah menjadi PhD student gagal di NTUST 😛 Juga sering membaca blog-blog beberapa PhD student di UK. Well, I have enough knowledge to understand about first year review. Tentu saja lebih susah ngejalanninya.
Saya tipe pribadi yang lebih suka mendidik dengan metode “encouragement” artinya sebaiknya saya dimotivasi untuk bisa melewati proses ini jangan ditakut-takuti. Hobi sekali bangsa ini nakut-nakutin anak mudanya.
Gak bisa ini lah, gak bisa itu lah? hello….
Kembali ke cerita tadi, saya sudah mulai ngelantur kemana-mana 😛
Supervisor saya dengan sabar menjelaskan semua proses S3 di tahun pertama. Ada yang “menggelitik” dari kalimat email beliau:
So from Year 1, you will be on the project. In the first few months, some basic things will be done (e.g. literature survey, defining the project, and first project, etc).
Di kalimat terakhir, he expects me to at least conduct my first project on my first few months of PhD. Tentu saja ini sesuai ekspektasi saya. Saya berharap sudah dapat guideline yang jelas terkait arah riset di tahun pertama. Jadi bisa segera “kawin” dengan riset saya.
Ngemeng-ngemeng soal ekspektasi studi S3, saya teringat dengan beberapa tulisan terkait kesuksesan PhD, konon begini katanya:
Jangan terlalu tinggi menetapkan target, dan juga jangan terlalu berharap banyak. Begitu juga sebaliknya
Susah kan menilainya? Parameter ini jadi kembali ke kondisi masing-masing. Saya tidak berharap bahwa sudah bisa mengerjakan riset di tahun pertama dengan baik adalah bualan belaka. Dalam artian, semoga ini benar-benar teralisasi. Tentu saja saya sudah punya target yang jelas yang tertulis manis di proposal riset saya. Tapi lagi-lagi, semuanya tergantung dalam proses pembimbingan nanti.
Setelah email-emailan ini, saya tentu saja langsung tambah semangat. Sebelumnya Prof. saya memang sudah merequest untuk membaca 2 buku, dan 3 paper beliau. hahahaha.. Belum apa-apa sudah di “siksa”. Beliau juga mendorong saya untuk segera kontak pihak-pihak terkait yang memegang data untuk riset saya, seperti BMKG. Saat ini saya masih terus membangun jaringan untuk memudahkan studi S3 saya nanti. 3 paper beliau sudah saya baca semuanya, tapi kebiasaan saya kalau baca paper, gak cukup sekali. Maklumlah, bahasa Inggris dan kemampuan otak saya memang pas-pasan. Akhirnya saya baca paper biasanya menggunakan metode deep work dan it works. Pagi ini saya sudah request teman di ITB untuk download 17 Thesis. Haha.. Entahlah, sedang semangat-semangatnya. Mudah-mudah bisa di download agar bisa dibaca dan dikembangkan ide-ide terbaru yang mungkin bisa digali.
Happy Tuesday.
Keep spirit!
Regards,
Ario Muhammad
PS: Sumber gambar di sini
Dear Mas Ario Muhammad,
Perkenalkan sebelumnya, saya Vivia dan a scholarship hunter too 😉 Saya tergelitik untuk bertanya dan meminta nasihat krn Mas Aria pernah menempuh pendidikan di Taiwan dan akan melanjutkan ke Eropa. Thanks to God, saya tahun ini berhasil memperoleh beasiswa dan bukan hanya satu, tapi dua. Itulah awal kebingungan saya. Saya mendapat scholarship ke Academia Sinica sebagai PhD student. Dari bbrp teman dan juga membaca blog Mas Ario, saya jadi ‘agak takut’ karena waktu PhD yang mungkin mencapai 7 thn. Selain itu, saya juga mendapat Erasmus Mundus scholarship ke Eropa, mobility program yang artinya saya akan belajar di min. 3 negara di EU, termasuk di UK, untuk menempuh Master degree.
Saya rencana memang ingin melanjutkan hingga tahap PhD. Anything in your mind ttg apakah sebaiknya saya langsung take the PhD in Taiwan so I will not waste more times. Ataukah sebaiknya saya mencoba master dulu dgn pemikiran bhw lulusan Europe akan lbh mudah nantinya mendaftar kembali ke universitas di Asia?
Best regards,
Vivia
Dear Vivia
Pertanyaan yg sulit.
Sebelumnya selamat dulu deh bisa nembus Academia Sinica. Kalau boleh tahu jurusan apa? setahu saya Academia Sinica ini memang keren dan cukup sulit ditembus. Miriplah mendapatkan beasiswa kampus NTU yg terkenal banyak saingan.
Ada beberapa cerita yg umum yg perlu mba vivia ketahui tentang PhD di Taiwan. Dan saya pikir standarnya hampir sama.
1. Belum ada aturan jelas tentang kelulusan PhD, terutama terkait berapa jurnal internasional sebagai prasyarat lulus PhD. Ini variatif dan sangat tergantung kepada Professornya; Masalah ini bisa selesai jika punya pembimbing yg support dan akomodatif. Maksudnya janjinya adalah janjin pasti. Misal bisa publish 2 jurnal internasional terindex SCI maka akan diluluskan. Karena ada model yg ga dilulusin padahal jurnal sudah memenuhi syarat;
2. Setahu saya sistem PhD di Taiwan punya sistem yg sama dengan di USA. Ada kuliahnya (rata2 18 SKS) dan ada ujian kualifikasinya. Beberapa kasus mentok di ujian kualifikasi. Kuliah awal ini jg membutuhkan konsentrasi/fokus minimal 1 tahun. Itu berarti riset S3 kita pun bs jadi akan tidak maksimal. Kecuali kita memang outstanding student. I mean extraordinary. hehehe.. Jika merasa mampu silahkan dicoba. Karena banyak juga koq yg berhasil. Termasuk di poin pertama. Tentu sistem PhD ini berbeda dengan di Eropa, setidaknya di Inggris seperti yg saya ketahui. Tapi intinya, PhD dimana-mana mah sama saja susahnya ya 😀
Itu mungkin gambaran saya. Sekarang pertanyaan pilih beasiswa yg mana?
Menurutku ada beberapa pertimbangan
PERTAMA: Jika berniat jadi peneliti or dosen+peneliti. Saran saya ambil PhD di acedemia sinica. Somehow, orang-orang Asia Timut itu mendidik kita menjadi pekerja keras dalam bidang riset meski dari segi kreativitas, orang Eropa mngkn sedikit lebih baik. Tapi lagi-lagi, memulai PhD dengan segera tentu akan memudahkan juga proses kita membangun karir sebagai dosen dan peneliti.
KEDUA: Jika memang tidak bertujuan jadi peneliti or dosen. Ambil beasiswa Erasmus Mundus dulu juga baik. Apalagi jika masih muda. Setelah itu baru cari pengalaman lain.
Btw, kenapa pengen PhD di Asia, kenapa ga di Eropa saja? 😀
Saya pernah PhD 1 tahun di taiwan yg akhirnya saya mengundurkan diri karena alasan keluarga. Jadi secara pribadi saya tidak terlalu suka PhD di Taiwan 🙂
Selamat berpikir dan semoga membantu..
Dear Mas Ario,
Good day to you! dan terima kasih atas balasannya yang cepat 🙂
Saya di terima di program Molecular Medicine karena saya memang tertarik pada bidang biomedical science. In general, salah satu keunggulan Academia Sinica adalah kejelasan mengenai syarat kelulusan, yaitu wajib publish di jurnal dengan IF >5, yang seharusnya sangatlah sulit (sehingga waktu penelitian dan PhD menjadi molor demi memperoleh banyak data).
Sebenarnya ada keinginan untuk melanjutkan PhD di Eropa jika memungkinkan, hanya saja saya (lagi-lagi) ‘agak khawatir’ jika nanti ternyata mengalami kesulitan memperoleh schoalrship PhD sehingga menyesal pada awalnya tidak langsung mengambil yang ada (salah satu bahan pertimbangan utama).
Saat ini pilihan saya condong ke arah master degree di Eropa karena education system nya yang berbeda dengan Asia dan tidak dapat dipungkiri karena ‘gaya belajar yang tergolong santai tapi kreatif (seperti di blog Mas Ario)’. Dan saya memang bercita-cita menjadi peneliti. Master degree ini juga adalah master degree dalam forensic science, yang saya pikir msh jarang di Indonesia dan saya juga memikirkan prospek ke depannya. Tapi tidak dapat saya pungkiri ‘aura Eropa’ begitu memikat 😉
Terima kasih untuk bahan pertimbangannya 🙂
Best regards,
Vivia
waah.. Mantap juga IF>5.0; Saya ingat teman saya di Chiba Univ. bidang kedokteran syaratnya IF>4.0
Academia Sinica memang well-organized, bbrp kampus di Taiwan belum terlalu ready menerima international student. Pengecualian bbrp kampus besar kayak NTU, NCKU, atau mngkn kampus sy dulu NTUST.
Di T. Sipil NTUST IF ga menjadi prasyarat as long as jurnalnya terindex SCI. hehe.. Jadi ada yg lulus dengan IF 0.7 sekian 🙂
Hmm.. Sebenarnya ga usah khawatir ga dapat beasiswa PhD di Eropa. Skrg peluang di negeri sendiri terbuka lebar, ada LPDP dan DIKTI. Cuma efeknya kita harus kembali ke tanah air. Lain hal kalau punya cita2 jadi peneliti di luar negeri, mngkn LPDP dan DIKTI tdk bisa dimasukkan sebagai list beasiswa.
Diluar itu memang PhD scholarships cukup sulit walaupun PhD position bertebaran dimana-mana.
Ambil kesempatan di Academia Sinica saja.Biar cepat kelar PhDnya. Konon dengan gelar PhD dan publikasi yg yahud, kita pny kesempatan melanglang buana karena kapasitas kita.
Semoga berhasil!
Dear Mas Ario,
Wah, responnya sangat cepat dan membantu membuka-pikiran 🙂
Sekarang saya mulai mencari PhD position, tapi memang agak sulit sepertinya karena kebanyakan open untuk hanya EU/UK students. Akan saya pikirkan dan pertimbangan kembali 🙂
Terima kasih atas respon nya 🙂 Good luck juga buat study PhDnya 🙂
Best regards,
Vivia
Ok, sami2..
Memang pas lg ngeblog 😀
Aslm.. Mas Ario, saya menunggu blog selanjutnya mengenai panduan melamar beasiswa Luar negeri… Saya berminat master degree di UK..
Regards,
Atika, CPNS Dosen
Sudah sy tulis di tulisan2 tentang Beasiswa dan Journey to PhD. coba cek aja ya.
Oke Mas, thanks ya