Bismillah…
Aku menatap dari jendela kereta Haruka yang membawaku dari Kansai menuju Kyoto dengan perasaan campur aduk. Senang karena menginjakkan kaki lagi di negeri sakura ini, juga bingung dengan apa yang telah terjadi dalam 2 bulan terakhir. Wajah Kyoto yang mulai nampak setelah perjalanan lebih dari 30 menit seperti memutar kembali memori otakku mengingat perjalananku tahun lalu di sini. Aku sendiri tidak pernah terpikirkan akan kembali lagi ke negeri ini setelah perjalanan hampir dua pekan di musim panas tahun lalu. Takdir dan kerja keras adalah dua hal yang akan menjadi alasan kenapa kita harus hidup. Engkaulah yang mengubah nasibmu bukan orang lain.
Perjalananku ke Kyoto kali ini terasa berbeda karena tanpa kehadiran supervisorku. Aku melakukan perjalanan panjang berkeliling Kyoto tahun lalu bersama beliau. Dari perjalanan dengan kereta yang satu dengan yang lain hingga berganti dengan Taxi dan bus yang terkadang kita naiki. Kali ini, aku lebih merasai indahnya Kyoto dan mengamati Jepang dengan lebih jernih. Menikmati langkah kakiku ketika turun di stasiun Inari setelah berlelah-lelah seharian di lab Coastal Engineering, DPRI-Kyoto University. Juga menikmati sejuknya udara musim semi dengan mataharinya yang menghangat. Kyoto terasa nikmat, sehangat menyeruput teh di Danau Linow, Sulawesi Utara sembari menikmati pemandangan menakjubkan disekelilingnya.
Aku terkaget-kaget dengan pemberian “angpao” dari Coastal Engineering Lab, DPRI-Kyoto University untuk mengganti biaya perjalananku selama di Jepang. Di luar ekspektasiku. Aku mengira mereka hanya akan mengganti sejumlah tiket pesawat, namun rupanya lebih dari itu. Aku sangat berterima kasih kepada Dr. Goda atas kesempatan yang diberikan olehnya untuk bergabung dalam salah satu proyek riset di bawah project besar SATREPS: Science and Technology Research Partnership for Sustainable Development dengan tema: Hazard Assessment of Large Earthquakes and Tsunamis in the Mexican Pacific Coast for Disaster Mitigation. Semua ini terasa lebih sempurna ketika perjalananku dari UK menuju Indonesia juga ditanggung oleh project CRUST yang dimiliki supervisorku. Semuanya berhasil kudapatkan karena kerja kerasku selama 9 bulan pertama studi PhDku. Aku berhasil membuat database DEM dan bathymetry yang menghubungkanku dengan riset di Mexico, juga performa risetku yang gemilang selama 1.5 tahun di Bristol University. Riset Tsunami di Sumatra ini memang akhirnya menjadi salah satu benchmark untuk produk CRUST selain studi kasus tsunami dan gempa di Jepang dan Kanada.
Allah memang punya rencana terbaik. Sebagai manusia kita hanya berkewajiban untuk berikhtiar sebaik mungkin. Di momen-momen ini, aku mulai menikmati kerja keras, konsistensi, dan keteguhan yang kupunya selama menjalani hari demi hari studi PhD-ku di Inggris. Rekam jejak target dan hasil kerjaku masih terus kupantau dalam skala harian. Semua laporan dan hasil riset tetulis dan terekam dengan baik. Aku menyadari bahwa proses ini tak mudah dan membutuhkan konsistensi dan konsentrasi yang tinggi.
Hal lain yang tak kalah menggairahkan selama kunjunganku di Kyoto University adalah mendapatkan kesempatan berdiskusi dengan peneliti-peneliti di sini. Bisa sharing ide dengan Marc, si jenius lulusan Illinois University tentang modelling hingga berdiskusi berjam-jam tentang project tsunami di Mexico dan Sumatra dengan Dr. Mori, seorang Associate Professor yang sangat cerdas dan baik hati. Aku merasa sangat dihargai dan memompa semangatku untuk menuntaskan riset PhDku yang sudah separuh jalan.
Selepas maghrib kemarin, aku menikmati wajah Kyoto di malam hari sembari menyantap ramen halal yang berada dekat dengan Kyoto Station. Ramen halal super pedas ini memang masih kalah dua tingkat dengan Niu Ro Mien-Taiwan namun tetap menjadi salah satu makanan favoritku selama di Kyoto. Melihat Kyoto di malam hari sebenarnya tak beda jauh dengan Indonesia. Hanya saja tingkat kebersihan dan ketaraturan serta banyak orang disekitar kota membuat perbedaan Kyoto dengan negeri kita menjadi sangat drastis. Tapi kita jangan terlalu malu, sebab tidak semua sudut Jepang itu shopsticated. Rekanku di Hokkaido University, menyaksikan langsung bagaimana kotornya asrama lokal mahasiswa Jepang. Aku mulai mengerti pernyataan Riku, seorang exchange student dari Kyoto University di lab kami beberapa waktu lalu, bahwa tidak semua di Jepang itu rapi dan teratur. Tidak semuanya orang jepang itu disiplin dan berkarakter. Banyak juga yang tidak seperti yang kamu bayangkan. Kereta-kereta mereka juga masih banyak yang tua meskipun sangat terawat. Rel-rel kereta api juga tak beda jauh dengan Bekasi, setidaknya itu kata Ihsan, seorang anak Bekasi yang berkeliling Kyoto bersamaku. Yang ingin kukatakan dari fakta-fakta yang kutemukan ini adalah,
Tidak semua yang kamu dengar tentang negara maju itu benar. Apalagi hanya lewat dunia maya. Karena kenyataan memang tak selalu indah dibandingkan imaji anda.

Rel kereta di Kyoto
Diluar itu semua. Cerita musim semi di Kyoto masih menjadi pengalaman berharga bagiku. Aku berharap bisa kembali dengan DeLiang dan istriku suatu hari nanti. Aku ingin melihat bahagianya DeLiang ketika menyaksikan aqua fantasy di depan stasiun Kyoto yang indah itu. Aku ingin melewati perjalanan bersamanya menggunakan kereta dan melihat langsung senyumnya yang penuh keingintahuan itu. Aku juga berharap bisa menggenggam erat tangan istriku sembari menikmati hijaunya Kyoto dengan sungainya yang jernih serta taman-tamannya yang indah. Melakukan perjalanan tanpa mereka memang selalu memberi ruang kosong yang berisi rindu dan harap. Rindu akan kehadiran mereka, juga berharap agar suatu waktu mereka bisa menikmati apa yang kusaksikan.
Besok malam, wajah Kyoto akan kutinggalkan dengan senyum bahagia. Atas nikmat yang begitu besar dari-Nya hingga memori-memori akademik yang kutinggalkan selama menjadi visiting PhD student di Kyoto University. Semuanya terekam jelas dalam ingatan dan akan mengabadi hingga aku tutup usia.
Sampai bertemu lagi Kyoto. Aku berharap suatu waktu bisa kembali dalam kondisi yang lebih matang. Sebuah kematangan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kyoto, 13 Mei 2016
Lab 208-D, Coastal Engineering, DPRI-Kyoto University