The law of remarkability: bagaimana agar buku Anda menjadi Best seller

Bismillah…

For a mission-driven project to succeed, it should be remarkable in two different ways. First, it must compel people who encounter it to remark about it to others. Second, it must be launched in a venue that supports such remarking (Dr. Calvin Newport).

Ada tiga penulis buku best-seller di Indonesia yang saya amati perkembangan mereka dalam setahun terakhir. Tidak lain dan tidak bukan untuk belajar dan melakukan riset sederhana bagaimana sehingga mereka bisa menghasilkan buku-buku best seller. Ahmad Rifai Rifan, Fahd Djibran, dan tentu saja, Tere Liye. Dua sosok pertama menarik perhatian saya karena mereka mengambil pasar yang cukup besar di kalangan anak muda. Khusus untuk Fahd Djibran, saya sudah mengetahui sepak terjangnya ketika sama-sama satu institusi S1 dulu. Ahmad Rifai Rifan bagi saya juga seseorang yang menarik untuk dikaji karena latar belakangnya yang merupakan seorang engineer lulusan teknik mesin ITS. Tere Liye? rasanya saya tak perlu menjelaskan kenapa nama ini juga menarik perhatian saya.

Saya kemudian menarik dua kesimpulan penting yang dimiliki ketiga penulis ini:

Pertama, karya-karya mereka berkualitas. Sederhana saja mengukurnya, data di goodreads review menunjukkan bahwa Ahmad Rifai memiliki rating 4.24/5 dari 1,302 orang, Fahd Djibran sendiri ratingnya 3.85/5 yang dirating oleh 4,301 orang, dan Tere Liye memiliki rating 4.1 dari jumlah voters yang mencapai hampir 5,000 orang. Rating ini adalah rating keseluruhan buku-buku mereka dan menjadi standar yang cukup baik untuk menilai kualitas karya mereka.

COver3

Kedua, mereka punya venue atau basis masa yang banyak dan loyal. Ahmad Rifai Rifan, jika kita tengok akun fanpage FB-nya, dia memiliki follower lebih dari 40,000 orang, Fahd Dijrab hampir 10,000 orang, dan Tere Liye yang memiliki angka follower fantastis: lebih dari 2 juta orang. Tentu saja masih ada beberapa penulis keren dengan followers yang banyak dan karya yang berkualitas semacam Asma Nadia atau Habiburrahman El Zhirazy. Namun belajar dari sosok-sosok seperti Ahmad Rifai dan Fahd Djibran menjadi sangat menarik karena kita bisa mengambil banyak pelajaran dari mereka. Baca lebih lanjut

Iklan

Think Small, Act Big

Ada sebuah kalimat menarik tentang mimpi dan cita-cita yang pernah saya baca. Kira-kira begini:

“Ketika aku muda, aku ingin mengubah seluruh dunia. Lalu aku sadari, betapa sulit mengubah seluruh dunia ini. Maka aku putuskan untuk mengubah negaraku saja.

Ketika aku sadari bahwa aku tidak bisa mengubah negaraku, aku mulai berusaha mengubah kotaku. Ketika aku semakin tua, aku sadari tidak mudah mengubah kotaku. Maka aku mulai mengubah keluargaku.

Kini aku semakin renta, aku pun tak bisa mengubah keluargaku. Ternyata aku sadari bahwa satu-satunya yang bisa aku ubah adalah diriku sendiri.

Tiba-tiba aku tersadarkan bahwa bila saja aku bisa mengubah diriku sejak dahulu, aku pasti bisa mengubah keluargaku dan kotaku. Pada akhirnya aku akan mengubah negaraku dan aku pun bisa mengubah seluruh dunia ini.” [1]

Kalimat ini terekam lagi di memori saya ketika membaca bab Think Small Act Big di buku So Good They Cant Ignore You [2]. Adalah cerita Prof. Pardis Sabeti [3], seorang biologist lulusan summa cum laude Doctor of Medicine, University of Harvard dan juga peraih gelar PhD dalam bidang Evolutionary Genetics dari University of Oxford yang memanggil kembali memori saya tentang potret cita-cita kebanyakan orang.

Ada tiga cerita berbeda yang di bandingkan dalam bab ini, yaitu antara Sarah, seorang mahasiswa baru (PhD) yang bingung menenutukan arah risetnya sedngkn mimpinya begitu besar: “Bisa menghasilkan riset yang mampu mengubah dunia”, juga Jone, yang memilih berhenti dari college untk merealisasikan mimpinya: “Membangun komunitas skala global yang punya visi hidup sehat” dan tentu saja Prof. Sabeti yang baru menemukan mimpi dan cita-citanya setelah menyelesaikan S3 di Oxford yaitu: “Mengaplikasikan bioinformatic statistical method untuk menekan angka penyebaran penyakit”.

whatsapp-image-2016-11-21-at-17-50-47

Baca lebih lanjut

Journey to PhD (40) – Bagaimana suasana ujian mahasiswa S1 di UK?

Bismillah…

Ini adalah rangkuman cerita bertajuk Journey to PhD”. Semua tulisan dalam tema ini akan mengangkat kisah studi saya hingga memperoleh gelar PhD -Insya Allah-

Pukul 10.30 pagi, disambut dengan hantaman angin dan dinginnya musim gugur, saya bergegas menuju gedung Merchant Venture Buildings (MVB), University of Bristol (UoB) untuk menunaikan salah satu tugas pelengkap saya sebagai asisten dosen di kelas computational math, school of math, UoB yaitu UJIAN. Saya disambut oleh Sarah, PIC dari School of Math untuk ujian kali ini. Disampingnya berdiri Luca, seorang PhD student tahun ke-3 yang berasal dari Croatia. Kami lalu saling bersapa hangat sambil memperhatikan sekeliling ruangan berlangsungnya ujian.

Tahap Persiapan

Seorang penjaga ujian disebut sebagai Invigilator di UK. Sebelum melaksanakan tugasnya, seorang Invigilator akan mengikuti pelatihan. Jadi seperti pelatihan mengawasi ujian. hehehe… Awalnya saya cukup surprise melihat keseriusan penanganan ujian di sini. Namun saya akhirnya menyadari, mereka memandangn ujian bagi mahasiswa di sini adalah salah satu proses yang penting bagi mereka, untuk itu ditangani dan dikelola dengan baik.

uob1

Baca lebih lanjut