Bismillah…
Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.
Lelaki itu mematung. Wajahnya kusut, tatapan matanya nanar, kosong, dan tak bernyawa. Ia berdiri sejak satu jam yang lalu. Memandang lanskap sungai Thames, London di musim semi dengan langit biru yang cerah dan indah. Namun perasaannya campur aduk dan tak beraturan. Tak jauh darinya, berdiri kokoh jembatan Tower yang beberapa waktu lalu deck-nya baru saja diangkat karena kapal Barmolar harus melewatinya. Ia menarik nafas penuh keresahan. Aktivitas yang sudah ia lakukan berkali-kali setelah tiba di tengah kota London pukul 2 siang tadi. Sebut saja namanya Rangga. Lelaki bertubuh tegap dengan tinggi 175 cm itu sedang dalam kekalutan luar biasa. Ini bukan tentang deadline tugas essay-nya yang sebentar lagi tiba. Juga bukan tentang rumitnya mempersiapkan disertasi untuk merampungkan studinya di jurusan Master of Political Science, University College of London. Masalahnya adalah masalah serius yang sering kali disembunyikan laki-laki: RANGGA SEDANG PATAH HATI.
Kenapa Rangga menjadi pilihan nama yang kuselipkan padanya? karena kisah patah hatinya seakan membawa memoriku dengan kisah dalam film Ada Apa Dengan Cinta. Satu minggu yang lalu, lelaki ini, terpaksa terbang ke Indonesia tanpa ada rencana sebelumnya karena calon Istrinya ingin mengakhiri hubungan yang sudah mereka bangun lebih dari 5 tahun lamanya. Baginya ini masalah besar. Jauhnya jarak London dan Bandung merenggangkan hubungan mereka yang sudah satu tahap menuju pernikahan. Membawa perasaannya yang sudah hancur berkeping-keping, Rangga rela meninggalkan kesibukan membaca bahan-bahan untuk mengerjakan essay-nya dan terbang ke Indonesia. Tak peduli semahal apapun tiket pesawat hari itu, Rangga harus segera ke Indonesia.
Pertemuannya berakhir pahit. Duduk kebingungan dihadapan mantan calon Istri dan Mertua, Rangga hanya bisa berujar “Maaf…”. Sebuah kata yang mewakili perasaan bersalahnya melihat mantan calon Ibu mertuanya menangis karena tidak terima anaknya tidak akan menikah dengan Rangga. Bagi Ibunya, Rangga adalah sosok ideal dan terbaik bagi puterinya. Pilihan meninggalkan Rangga untuk memilih laki-laki lain, dengan alasan klise: LEBIH PERHATIAN, menurut calon Ibu mertuanya adalah keputusan yang buru-buru dan salah besar. Namun perasaan seseorang tak bisa dipaksakan. Meskipun Rangga rela jauh datang dari lain Benua untuk meluluhkan keputusan calon istrinya, keputusan sang perempuan yang sudah dicintainya sejak lama tetap bulat: HUBUNGAN KITA BERAKHIR dan saya akan menikah dengan lelaki lain.