Serpihan Inspirasi – Yang pasti adalah kematian

Bismillah…

Nafasku tersengal ketika mengedarkan pandanganku di seisi ruangan 3.05, International Building, National Taiwan University of Science and Technology (NTUST). Tak ada seorangpun yang terlihat batang hidungnya dihadapanku. Aku memang sengaja datang lima belas menit lebih awal sebelum kelas dimulai. Adalah kelas reliability analysis of structures, sebuah mata kuliah yang sering membuat kepalaku senut-senut setelah melewatinya. Namanya Prof. Cherng, lelaki dengan 165 cm ini yang mengampu kelas reliability analysis of structures. Beliau terkenal sebagai salah satu Prof. tercerdas di jurusan Construction Engineering, NTUST. Lulusan University of Illinois, U.S.A. ini tidak hanya cerdas namun juga begitu telaten menjelaskan satu persatu persamaan matematika kepada kami jika raut wajah mahasiswanya terlihat kebingungan. Ramah. Itulah kesan lain yang kutangkap dari beliau. Sebuah pesan sederhana tentang pentingnya memiliki attitude yang baik ketika anda menjadi guru.

Beberapa menit sebelum pukul 9.30 am, wajah Prof. Cherng terlihat. Senyumnya mengembang dan penuh antusias. Tak berselang beberapa lama, 15 mahasiswa internasional yang mengambil kelasnya sudah duduk manis dihadapan Prof. Cherng yang sedang sibuk mempersiapkan kelasnya hari ini. Beliau mengambil beberapa batang kapur – satu berwarna putih dan satunya lagi berwarna kuning, lalu meletakkannya disamping meja yang disediakan khusus untuk meletakkan barang-barang para pengajar. Dengan tenang, Prof. Cherng mulai membuka suara:

“Nothing is certain

“Tidak ada yang pasti di dunia ini” Beliau mengulang kalimat yang diucapkan beberapa detik sebelumnya.

“Apakah ada kondisi di dunia ini yang pasti untuk ditentukan? Jawabannya adalah TIDAK ADA. Semua tidak ada yang pasti untuk ditentukan jumlahnya. Bangunan  yang kita desain tidak akan pernah bisa kita bangun dengan failure of probability zero (kemungkinan kegagalannya nol). Tidak ada dan tidak akan pernah bisa.” Lanjut beliau.

COver3 Baca lebih lanjut

Iklan

Bedanya PENGEN dan CITA-CITA

Bismillah…

Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.

“Sebenarnya dia ingin sekali studi di Belanda. Tapi pertimbangan keluarga yang membuatnya memilih Inggris.” Istriku membuka obrolan ketika saya sedang menikmati lunch di kantornya siang tadi.

“Abi heran sama orang-orang yang punya keinginan tapi gak mau kerja keras. Ini persis dengan target umi yang mau publikasi di jurnal, tetapi gak mau kerja keras. Atau teman Umi yang sebenarnya menurut abi masuk dalam kategori pengen bukan punya cita-cita karena kelihatan effortnya biasa saja.” Lanjutku menjustifikasi. Baca lebih lanjut

Tips parenting: Menjadikan anak kita sukses di masa depan

Bismillah…

Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.

Lahir dan tumbuh di Shreveport, Louisiana, Amerika Serikat, Richard Williams harus menghadapi tidakan rasis yang mengancam nyawanya berkali-kali. Sebagai ras kulit hitam, Richard sudah terbiasa menghadapi kekerasan terhadapnya sejak ia kecil di tahun 1940-an. Dengan latar belakang keluarga yang keras, Richard kemudian tumbuh menjadi pribadi yang membenci rasisme, kemiskinan, dan kebodohan [1]. Adalah Virginia Ruzici, seorang petenis asal Romania yang menarik perhatian Richard Williams ketika menonton kemenangannya di televisi pada sebuah turnamen di Salt Lake City, Amerika Serikat awal tahun 1980-an. Besarnya hadiah yang diterima Ruzici saat itu menggerakkan seorang Richard, ayah dari 5 anak dengan dua pernikahan berbeda, untuk membuat sebuah rencana besar dalam hidupnya. Rencana itu adalah MENJADIKAN 2 anaknya: Venus Williams dan Serena Williams menjadi PETENIS TERBAIK DUNIA. Lewat video dan tontonan di Televisi, Richard mulai belajar tentang teknik dasar bermain tenis dan kemudian menyusun 78 rencana untuk membuat kedua anaknya menjadi juara dunia tenis [1-3]. Kegigihannya membuahkan hasil, hampir 30 tahun sejak rencana itu ditulis olehnya, saat ini, Richard bisa menyaksikan Venus Williams masih bertengger sebagai petenis papan atas dunia juga memenangkan 7 gelar grand slam (kejuaraan tertinggi di dunia tenis) dan masih menjadi finalis grand slam di usianya yang sudah 36 tahun. Lebih dari itu, sang adik, Serena Williams dikenal sebagai salah satu dari petenis terbaik dunia sepanjang masa dengan 23 gelar grand slam (terbanyak untuk petenis putri di open era) dan masih menjadi lawan paling ditakuti oleh petenis manapun meskipun usianya sudah 35 tahun.

Berbeda dengan Williams sister (Venus dan Serena) yang dijadikan petenis oleh ayahnya karena tergiur oleh banyaknya uang dari sebuah turnamen tenis, Joey Alexander, seorang musisi Jazz cilik kebanggan Indonesia punya cerita yag berbeda. Terlahir dari rahim Sarah Urbacm dan seorang ayah yang merupakan musisi Jazz amatiran, Denny Silla, Joey Alexander sudah dikenalkan Jazz sejak masih dalam kandungan. Musik-musik jazz hasil komposisi ayahnya menjadi santapan sehari-hari seorang Joey Alexander. Ketika berusia 6 tahun, Joey kemudian dikenalkan dengan piano yang merupakan hadiah dari ayahnya. Ia mulai belajar memainkan piano dengan musik Jazz yang sudah didengarnya sejak ia masih dalam kandungan. Mengetahui bakatnya di dunia musik, ayahnya kemudian memperkenalkan musik Jazz kepada Joey dan melatih kemampuannya lewat para musisi Jazz dari Bali dan Jakarta. Perjalanan karirnya kemudian berjalan dengan begitu fantastis. Di usianya yang baru 13 tahun, Joey Alexander sudah menjadi salah satu nominasi Grammy Awards untuk 2 kategori musik Jazz, sebuah penghargaan bagi musisi terbaik di Amerika Serikat. Prestasi-prestasi inilah yang akhirnya menyematkan dirinya sebagai seorang prodigy di dunia musik [4].

Baca lebih lanjut