Bismillah…
Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.
Lahir dan tumbuh di Shreveport, Louisiana, Amerika Serikat, Richard Williams harus menghadapi tidakan rasis yang mengancam nyawanya berkali-kali. Sebagai ras kulit hitam, Richard sudah terbiasa menghadapi kekerasan terhadapnya sejak ia kecil di tahun 1940-an. Dengan latar belakang keluarga yang keras, Richard kemudian tumbuh menjadi pribadi yang membenci rasisme, kemiskinan, dan kebodohan [1]. Adalah Virginia Ruzici, seorang petenis asal Romania yang menarik perhatian Richard Williams ketika menonton kemenangannya di televisi pada sebuah turnamen di Salt Lake City, Amerika Serikat awal tahun 1980-an. Besarnya hadiah yang diterima Ruzici saat itu menggerakkan seorang Richard, ayah dari 5 anak dengan dua pernikahan berbeda, untuk membuat sebuah rencana besar dalam hidupnya. Rencana itu adalah MENJADIKAN 2 anaknya: Venus Williams dan Serena Williams menjadi PETENIS TERBAIK DUNIA. Lewat video dan tontonan di Televisi, Richard mulai belajar tentang teknik dasar bermain tenis dan kemudian menyusun 78 rencana untuk membuat kedua anaknya menjadi juara dunia tenis [1-3]. Kegigihannya membuahkan hasil, hampir 30 tahun sejak rencana itu ditulis olehnya, saat ini, Richard bisa menyaksikan Venus Williams masih bertengger sebagai petenis papan atas dunia juga memenangkan 7 gelar grand slam (kejuaraan tertinggi di dunia tenis) dan masih menjadi finalis grand slam di usianya yang sudah 36 tahun. Lebih dari itu, sang adik, Serena Williams dikenal sebagai salah satu dari petenis terbaik dunia sepanjang masa dengan 23 gelar grand slam (terbanyak untuk petenis putri di open era) dan masih menjadi lawan paling ditakuti oleh petenis manapun meskipun usianya sudah 35 tahun.
Berbeda dengan Williams sister (Venus dan Serena) yang dijadikan petenis oleh ayahnya karena tergiur oleh banyaknya uang dari sebuah turnamen tenis, Joey Alexander, seorang musisi Jazz cilik kebanggan Indonesia punya cerita yag berbeda. Terlahir dari rahim Sarah Urbacm dan seorang ayah yang merupakan musisi Jazz amatiran, Denny Silla, Joey Alexander sudah dikenalkan Jazz sejak masih dalam kandungan. Musik-musik jazz hasil komposisi ayahnya menjadi santapan sehari-hari seorang Joey Alexander. Ketika berusia 6 tahun, Joey kemudian dikenalkan dengan piano yang merupakan hadiah dari ayahnya. Ia mulai belajar memainkan piano dengan musik Jazz yang sudah didengarnya sejak ia masih dalam kandungan. Mengetahui bakatnya di dunia musik, ayahnya kemudian memperkenalkan musik Jazz kepada Joey dan melatih kemampuannya lewat para musisi Jazz dari Bali dan Jakarta. Perjalanan karirnya kemudian berjalan dengan begitu fantastis. Di usianya yang baru 13 tahun, Joey Alexander sudah menjadi salah satu nominasi Grammy Awards untuk 2 kategori musik Jazz, sebuah penghargaan bagi musisi terbaik di Amerika Serikat. Prestasi-prestasi inilah yang akhirnya menyematkan dirinya sebagai seorang prodigy di dunia musik [4].
Dua kisah singkat dari keluarga petenis Williams dan Joey Alexander ini punya latar belakang yang berbeda namun memiliki satu kesamaan yang jelas. Perbedaan dari keduanya adalah Willimas sister bukan lahir dari keluarga petenis yang punya ketertarikan dengan dunia tenis sejak awal, sedangkan Joey Alexander adalah generasi ke dua musisi Jazz di keluarganya. Kesamaan mereka adalah: ORANG TUA MEREKA MEMPERSIAPKAN MASA DEPAN MEREKA. Campur tangan sang ayah bagi kesuksesan Williams Sister memberikan pengaruh yang sangat besar untuk mengantarkan keduanya menikmati kesuksesan hingga saat ini. Begitu juga dengan Joey Alexander, perhatian ayah-ibunya yang begitu besar terhadap bakat musiknya membuat ia tumbuh menjadi salah satu musisi Jazz terbaik di dunia di usianya yang masih sangat muda.
BENARKAH KECERDASAN ANAK TURUNAN DARI ORANG TUANYA?
“Ahh.. Wajarlah anak itu pintar. Ibunya mah juara kelas sejak SD sampai SMA.”
“Anaknya si Ibu itu belum bisa membaca meskipun sudah SD? Gak usah heran, wong Ayahnya dulu itu bandel dan bodohnya minta ampun!”
Sering mendengar perkataan ini disekitaran anda? atau anda adalah orang tua yang sering disindir karena masalah ini?
Seperti banyaknya sindirian diatas, ada nilai yang kemudian terlanjur dianut oleh sebagian besar masyarakat kita, yaitu: kecerdasan anak diturunkan oleh orang tuanya. Kecerdasan anak yang saya maksudkan adalah kecerdasan yang dijelaskan secara umum oleh saintis sebagai kemampuan anak dalam membangun argumen, merencanakan, menyelesaikan masalah, berfikir secara abstrak, dan memahami masalah yang kompleks. Teori ini diperparah dengan banyaknya artikel yang mengatakan bahwa kecerdasan anak itu menurun dari orang tua [5-7] yang ditulis dari hasil beberapa riset para saintis. Akhirnya, pola pikir yang berkembang di masyarakat kita adalah:
Jika anda dulu bodoh dan nakal, maka wajar jika anak anda nanti bodoh dan nakal. Begitu juga sebaliknya, jika anda pintar dan cerdas, maka anak keturunan anda juga bakalan seperti itu.
Klaim semacam ini menurut saya menyesatkan. Seperti pengkultusan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan tidak punya peluang yang sama. Sebuah klaim yang membuat para orang tua yang dulunya bukan juara kelas, merasa bahwa anak mereka tidak akan pernah mungkin menjadi seorang profesor di masa depan atau orang tua yang tidak memiliki latar belakang pengusaha, merasa anaknya tidak akan pernah menjadi seorang pengusaha yang sukses.
Benarkah demikian?
Saya mencoba menelusuri beberapa literatur mengenai peran faktor keturunan terhadap kecerdasan seseorang. Beberapa hal ini perlu kita renungkan bersama-sama [8-14]:
PERTAMA: Benar bahwa banyak studi yang sudah membuktikan bahwa faktor keturunan memberikan pengaruh terhadap kecerdasan generasi berikutnya. Pengaruhnya bahkan bisa mencapai 80% di periode dewasa. Akan tetapi, yang jarang ditulis oleh berbagai artikel tentang hal ini adalah pengaruh faktor genetik justru relatif kecil ketika di masa balita (sekitar 20-30%). Untuk itulah masa-masa ini menjadi sangat krusial untuk membetuk anak-anak kita. Klaim ini juga masih diperdebatkan di kalangan saintis [14] karena faktor daya waris ini melibatkan hal yang sangat kompleks dan tidak semata tergantung kepada gen seseorang. Artinya, tidak ada bukti mutlak dan jelas bahwa kecerdasan adalah murni diturunkan dari orang tua kita.
KEDUA: Ada faktor penting yang tidak bisa kita sampingkan dari faktor kecerdasan seorang anak, yaitu LINGKUNGAN. Yang sering tidak diinformasikan kepada para pembaca dari hasil-hasil riset tersebut adalah, faktor lingkungan memainkan peran yang cukup besar dalam menentukan kecerdasan seseorang. Bahkan dalam beberapa studi mengatakan kontribusinya bisa mencapai hingga 60%.
Kalaupun seseorang bukan lahir dari keluarga yang cerdas atau memiliki bakat tertentu dia masih punya peluang yang besar terutama di masa mereka masih balita. Seperti yang saya sebutkan di atas, masa kecil seseorang sangat dipengaruhi oleh bentukan lingkungan yang bersamanya. Jadi jika saat ini anda merasa tidak punya “modal” untuk membuat anak anda cemerlang di masa depan. Buanglah pikiran itu jauh-jauh, lalu mulailah belajar dan menciptakan lingkungan yang berkualitas bagi anak anda.
MENJADIKAN ANAK KITA SUKSES DI MASA DEPAN
Adalah Laszlo Polgar, seorang psikolog asal Hungaria yang ceritanya perlu kita pelajari. Pria yang menikah di akhir tahun 1960-an dengan seorang perempuan bernama Klara, membuat sebuah eksperimen unik yang kemudian mengubah hidup mereka beberapa dekade setelahnya. Sebelumnya, Polgar telah melakukan studi mendalam lebih dari 100 orang yang dikenal jenius dan sangat berbakat di bidang musik, olahraga, maupun matematika, lalu memutuskan menciptakan anak-anak jenius di keluarganya sendiri [15]. Polgar meyakini, dalam bidang apapun, seorang anak bisa diciptakan untuk menjadi yang terbaik. Mereka kemudian memilih CATUR setelah mempertimbangkan beberapa opsi seperti bahasa, matematika, hingga musik. Lebih beruntung lagi, Keluarga Polgar dianugerahi 3 anak perempuan, yaitu Susan, Sofia, dan Judit. Kala itu, perempuan masih dipandang sebelah mata dalam dunia catur sehingga menciptakan juara dunia catur perempuan adalah hal yang mengagumkan. Lewat rencana yang matang sejak mereka masih dalam usia yang sangat muda, baik Susan, Sofia, dan Judit kemudian tercatat menjadi pecatur wanita terbaik sepanjang masa.
Berkaca dari keluarga Polgar, Joey, dan Williams Sister, ada beberapa hal penting yang harus kita siapkan sebagai orang tua [1-4,15]:
PERTAMA: Kedua orang tua harus memiliki mindset yang sama dan saling bahu membahu mempersiapkan keberhasilan anak-anaknya. Kisah Joey Lexander dan keluarga Polgar adalah contohnya. Kedua orang tua mereka menyadari bahwa pembentukan karakter membutuhkan keterlibatan kedua belah pihak. Untuk itu kerjasama antara suami dan istri perlu dibangun sejak dini.
KEDUA: Ayah punya tugas yang sentral untuk menetapkan mimpi-mimpi besar bagi anaknya. Dia yang mempersiapkan rencana-rencana matang agar anaknya bisa sukses. Kisah Williams sister adalah contohnya. Ayah mereka memang menjadi tokoh sentral dalam membentuk attitude keduanya. Bahkan dalam beberapa wawancara dengan Richard Williams, baik Venus maupun Serena, sering dibiarkan menghadapi tindakan rasis agar secara karakter mereka terbiasa untuk dibenturkan dengan tantangan dan mencari jalan keluar atas persoalan yang mereka hadapi [3]. Ayah bertugas untuk membuat rencana-rencana umum yang penting untuk mensukseskan anak-anak mereka. Sedangkan peran Ibu harus banyak difokuskan untuk menjaga kestrabilan mental anak-anak mereka. In road to extraordinary, akan banyak tantangan secara psikis yang dihadapi oleh seorang anak. Peran Ibu sangatlah besar untuk memastikan bahwa rencana-rencana yang disiapkan oleh sang Ayah bisa dieksekusi dengan baik tanpa merenggut masa kanak-kanak mereka.
KETIGA: Pentingnya pengetahuan bagi kedua orang tua. Pengetahuan ini bisa sangat beragam. Bagi seorang muslim, mempersiapkan generasi yang sukses, bukan saja mereka yang bisa menjadi terbaik di bidang mereka, tapi mereka juga harus menjadi generasi yang taat dan takut kepada Allah. Maka pengetahuan yang mendalam di bidang agama, psikologi, hingga proses mendidik anak perlu terus dipelajari oleh orang tua dimanapun yang ingin mendidik anaknya menuju tangga kesuksesan.
KEEMPAT: Pengaruh KEBIASAAN orang tua sangatlah besar. Contoh Joey Alexander yang terpengaruh oleh musik Jazz adalah gambaran betapa kuatnya pengaruh kebiasaan orang tua. Jadi jangan heran jika karakter dan pembawaan anak-anak kita cenderung lebih mirip dengan orang tuanya, karena keseharian kitalah yang membentuk mereka. Bagi kami berdua yang sama-sama berprofesi sebagai dosen dan terbiasa membawa DeLiang ke kampus, maka tidaklah sulit membuat DeLiang belajar. Sebab ia sering melihat ayah dan ibunya belajar. Bahkan sejak ia masih dalam kandungan.
Setelahnya, kita bisa belajar dari proses Richard Williams, Denny Silla, maupun Laszlo Polgar dalam mempersiapkan anak-anak mereka [1-4,15].
PERTAMA: Dimulai sejak dini.
Joey Alexander adalah contoh yang jelas tentang pentingnya pengenalan sejak dini. Dia tumbuh dengan musik Jazz sejak dalam kandungan. Hingga usia lima tahun dia terbiasa mendengar musik-musik hasil komposisi ayahnya dan menyaksikan langsung ayahnya bermain musik. Sejak usia 3 tahun, Venus dan Serena sudah dibiasakan bermain tenis dan dilatih oleh Richard Williams lewat video rekaman yang telah ia pelajari sebelumnya. Maka sejak dalam kandungan, siapkanlah mereka.
KEDUA: Perkenalkanlah dengan cara-cara yang menyenangkan.
Susan Polgar, dalam sebuah wawancara, mengatakan bahwa proses ia berkenalan dengan catur karena ayahnya memberikan hadiah satu set papan catur sebagai mainan pertamanya. Susan tertarik dengan pion-pion catur yang bentuknya lucu dan seperti mainan anak-anak. Joey Alexander dihadiahi piano oleh ayahnya ketika berusia 6 tahun. Venus dan Serena dikondisikan oleh ayahnya untuk bermain tenis dengan suasana menyenangkan. Maka perkenalkanlah apapun yang ingin kalian ajari kepada anak kalian dengan cara-cara yang menyenangkan. Jika anda belum menemukan hal awal yang perlu diperkenalkan kepada anak anda, maka perhatikanlah apa yang selalu menarik perhatiannya. Anda bisa memulai membangun bakatnya dari ketertarikan awal anak anda. Ketertarikan awal ini juga sangat dipengaruhi oleh kebiasaan orang tuanya. Seperti Joey yang mencintai Jazz karena orang tuanya, atau Williams sister yang mencintai tenis karena dibiasakan ayahnya sejak dini. Maka kebiasaan anda sangat menentukan initial interest-nya.
KETIGA: Seringlah memberikan penghargaan.
Ini hal yang sangat penting. Seringlah mengapresiasi anak anda jika dia berhasil menyelesaikan hal-hal tertentu. Kebiasaan di sekolah-sekolah UK adalah memberikan apresiasi berkali-kali yang bagi kami orang Asia, terkadang berlebihan. Namun di masa anak-anak, inilah cara memotivasi mereka agar senang dengan apa yang mereka kerjakan.
KEEMPAT: Saudara mereka bisa memotivasi mereka.
Pencapaian Serena Williams hingga tahun 2017 tercatat jauh melebihi saudaranya, Venus. Umumnya, kualitas anak bungsu lebih baik dibanding kakak-kakaknya. Hal ini karena anak bungsu cenderung melihat, mengamati, dan meniru saudara-saudaranya untuk terbiasa dengan hal-hal tertentu. Maka libatkan mereka bersama-sama dalam proses belajar agar mereka semakin termotivasi satu dengan yang lainnya. Judit Polgar, anak terakhir di keluarga Polgar yang lahir 7 tahun setelah Susan Polgar, tercatat sebagai pecatur puteri terbaik di dunia sepanjang masa. Memegang rekor pecatur wanita nomor satu dunia selama 25 tahun sebelum ia pensiun [15]. Ia tumbuh karena melihat dan mengamati serta terlibat langsung menekuni catur bersama kakak-kakaknya.
KELIMA: Mulailah mempersiapkan mentor untuk mereka.
Proses mengasah kemampuan mereka kemudian harus diseriusi terutama di usia 6 tahun hingga menginjak remaja. Joey Alexander mulai belajar Jazz sejak usia 6 tahun, sedang Williams sister mulai berlatih tenis dengan pelatih di usia mereka yang masih 4-5 tahun. Tidak ada batasan usia yang tepat dan jelas, namun poin yang ini saya garis bawahi adalah ketika anak anda sudah mulai tertarik dengan hal-hal tertentu, maka mulailah mengasah bakat mereka dengan serius lewat latihan bersama mentor yang mengerti bidang tersebut. Bagi para musisi dunia, umumnya hingga usia mereka 10 tahun, mereka terbiasa mengikuti les musik setiap pekan/hari [16].
Setelahnya adalah proses membangun ketertarikan yang penuh motivasi, komitmen, hingga ketahanan dalam berlatih keras bertahun-tahun lamanya. Seseorang membutuhkan latihan keras lebih dari 10 tahun untuk bisa berada pada level yang terbaik di dunia [15-16]. Tahap ini bisa menjadi bagian artikel lain yang Mungkin akan kita bahas di tulisan-tulisan setelah ini.
Semoga bermanfaat.
Bristol, 2 April 2017.
Ditulis oleh Ario Muhammad di Queens Library, University of Bristol, UK.
[1] http://www.biography.com/people/serena-williams-9532901
[2] http://edition.cnn.com/2015/12/16/tennis/richard-williams-venus-serena-tennis/
[3] http://www.newyorker.com/magazine/2014/06/02/childs-play-6
[4] http://www.plimbi.com/article/163180/biografi-joey-alexander
[5] http://lifestyle.liputan6.com/read/2600654/kecerdasan-anak-diturunkan-dari-sang-ibu-benarkah
[6] https://hellosehat.com/kecerdasan-anak-diturunkan-ibu/
[7] http://bali.tribunnews.com/2017/04/02/ketahuilah-bukan-dari-ayah-kecerdasan-anak-menurun-dari-ibu
[9] Deary IJ. Intelligence. Curr Biol. 2013 Aug 19;23(16):R673-6. doi: 10.1016/j.cub.2013.07.021. PubMed: 23968918. Free full-text available from the publisher: http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0960982213008440
[10] Deary IJ, Johnson W, Houlihan LM. Genetic foundations of human intelligence. Hum Genet. 2009 Jul;126(1):215-32. doi: 10.1007/s00439-009-0655-4. Epub 2009 Mar 18. Review. PubMed: 19294424.
[11] Plomin R, Deary IJ. Genetics and intelligence differences: five special findings. Mol Psychiatry. 2015 Feb;20(1):98-108. doi: 10.1038/mp.2014.105. Epub 2014 Sep 16. Review. PubMed: 25224258. Free full-text available from PubMed Central: PMC4270739.
[12] Sternberg RJ. Intelligence. Dialogues Clin Neurosci. 2012 Mar;14(1):19-27. Review. PubMed: 22577301. Free full-text available from PubMed Central: PMC3341646
[13] Panizzon MS, Vuoksimaa E, Spoon KM, Jacobson KC, Lyons MJ, Franz CE et al. Genetic and environmental influences on general cognitive ability: Is g a valid latent construct? Intelligence2014; 43: 65–76.
[14] Mackintosh N. IQ and human intelligence, 2nd edn. Oxford University Press: Oxford, UK, 2011.
[15] Ericsson A. and Pool R., Peak: Secrets from the new science of expertise, Penguin Random House publishing.
[16] Erricsson K.A. The Road To Excellence: The Acquisition of Expert Performance in the Arts and Sciences, Sports, and Games.