Hi Eropa, Saksikan bahwa aku seorang muslim

Bismillah…

Namanya Bu Muti, Ibu tiga anak ini melangkahkan kakinya dengan penuh semangat menuju stasiun Bus Bristol, salah satu kota di bagian Selatan Inggris Raya. Tujuannya kali ini adalah Bath, kota yang terkenal dengan arsitektur Georgia dan tempat pemandian air panasnya. Bu Muti bukan sedang memanjakan matanya dengan keindahan kota Bath atau pergi menikmati hot spring di sana di sela kesibukannya sebagai Ibu rumah tangga menemani suaminya yang bekerja di Airbus. Bu Muti sedang menuntaskan misinya yang tak mudah: Menggondol gelar PhD. Bu Muti harus menepis semua kemalasannya setiap hari menuju Bath, menghabiskan 4 jam perjalanan pulang pergi dari  rumahnya di Bristol dengan Bus untuk kembali belajar.

Belum sampai satu tahun ini, Bu Muti resmi menjadi mahasiswa PhD di bidang Teknik kimia di Bath University. Sebuah profesi yang tak mudah untuk seorang Ibu di usianya yang tak lagi muda. Bu Muti sering menghabiskan waktunya di Bus dengan dzikir pagi yang panjang dalam 2 jam perjalanan menuju Bath kemudian kembali menekuri paper-paper ilmiahnya.

“Akhirat adalah yang utama. Setelah berdzikir, barulah saya akan membaca urusan dunia yaitu paper-paper riset saya.”

Ketika ditanya kenapa ingin mengambil PhD setelah lebih dari 10 tahun tidak lagi merasakan dunia pendidikan di kampus, jawabannya sungguh membuat saya takjub.

“Saya ingin membuktikan kepada orang-orang di sini, bahwa seorang muslim itu cerdas, punya pendidikan tinggi, bisa sekolah sampai S3. Saya mengagumi kisah seorang nenek-nenek yang diusianya yang sudah 82 tahun bisa meraih gelar sarjana di bidang Hadits. Ingin menunjukkan kepada dunia bahwa seorang muslim bukanlah teroris”

Bristol

Mendengar cerita Bu Muti dari Istri memang selalu menjadi fragmen refleksi yang tak mudah bagi saya. Rasanya butuh semangat yang berkali-kali lipat dari orang lain untuk sampai pada sebuah keputusan bagi seorang Ibu rumah tangga untuk memutuskan mengambil PhD. Rasanya hanya panggilan iman-lah yang menjadi alasan terbesar untuk bisa menggerakkan seseorang mengambil keputusan seperti yang dilakukan oleh Bu Muti.

“Anak saya yang perempuan. Sudah berkali-kali diperlakukan rasis oleh para bule di sini hanya karena dia seorang muslimah. Dia pernah diguyur milk shake di jilbabnya yang rapi menutup kepalanya. Pernah dilempari coke dan diteriaki dengan perkataan tak senonoh hanya karena pakaiannya.” Ucapnya suatu saat, mengingat kisah anak sulungnya yang juli nanti akan menamatkan studi M.Eng di bidang Aerospace Engineering dari University of sheffield.

Pengalamannya yang langsung berhadapan dengan kebencian orang Eropa terhadap muslim bisa jadi menjadi alasan yang kuat untuk membuktikan bahwa seorang muslim bukanlah seperti yang mereka pikirkan.

“Anak saya yang ketiga juga punya pengalaman yang tak beda jauh. Dipanggil teroris hingga terbiasa menerima berbagai macam panggilan tak menyenangkan dari temannya hanya karena dia seorang muslim. Namun dia seorang juara kelas, disukai banyak orang. Jadilah dia bisa survive dan bertahan dengan identitasnya sebagai muslim.” Lanjutnya.

Ceritanya soal Abduh, anak ketiganya ini memberikan kesan tersendiri bagi saya. Teringat tilawah-nya yang merdu dengan logat khas British tapi dengan bacaan Al-Qur’an yang bagus dan merdu. Abduh lagi-lagi seperti tamparan dan contoh besar bagi kita bagaimana seharusnya menjadi muslim di Eropa. Kita harus menjadi yang terbaik agar orang-orang disekitar bisa meyakini bahwa ucapan: SAYA SEORANG MUSLIM adalah refleksi iman yang kita buktikan dengan perbuatan. Sebuah pembuktian bahwa kitalah yang paling disiplin, kitalah yang paing haus ilmu, kitalah yang paling serius menekuni apa yang kita jalankan.

Potongan cerita keluarga Bu Muti ini mengangkat memori saya tentang pengakuan SAKSIKAN BAHWA AKU SEORANG MUSLIM. Sebuah pengakuan yang seharusnya tertanam kuat dalam diri setiap muslim apalagi ketika dia berada di lingkungan minoritas seperti ini. Sering keberadaan kami di Eropa membuat kata-kata ini muncul dari bibir kita:

“Maaf, saya muslim. Saya tidak bisa memakan daging yang tidak halal.

Maaf, Saya muslim, Saya tidak bisa minum minuman beralkohol.”

Perkataan ini adalah hal yang lumrah dan sering kami ucapkan. Lalu lantaskah berhenti hanya pada ucapan? pengakuan sebagai seorang muslim adalah ikrar Iman yang berat tanggung jawabnya. Ada pengakuan Allah sebagai Tuhan satu-satunya dalam hidup kita, pengakuan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, sebuah nama yang sering diejek dan diolok-olokkan oleh mereka yang membenci Islam. Ini adalh ikrar iman yang seharusnya terus menerus kita perbaharui.

Saya kemudian mencoba betanya kepada diri sendiri:

“Kenapa Allah mengirimkanmu sekolah di sini? kenapa harus Inggris? Lalu bersama keluargamu. Istrimu dengan identitasnya yang jelas sebagai seorang muslimah kenapa juga bisa sama-sama sekolah di sini?”

Ini refleksi penting yang rasanya perlu saya renungkan. Pesan yang kuat bahwa dengan alasan dan skenario apapun, selalu ada sebab kenapa DIA mengirimkan kita di suatu tempat. Lalu sampailah saya pada satu kesimpulan. Bahwa ada misi lain yang ingin kita bawa. Misi iman yang sering kita sebut lewat pengkuan: SAYA SEORANG MUSLIM.

Maka alangkah ruginya ketika di negeri minoritas ini kita disibukkan untuk berdebat seberapa pluralnya kita, seberapa bertoleransinya kita, hingga melupakan nilai iman yang sejak dulu kita akui. Betapa ruginya kita menghabiskan waktu untuk bertanya tentang keburukan para oknum yang membawa nama Islam untuk melakukan aksi bom, kekerasan, hingga aksi tak toleran yang sering kita temukan di negeri sendiri. Mungkin kita perlu bertanya,

apakah ketika ayat-ayat-Nya diperdengarkan hati kita bergetar?

apakah sujud malam kita seindah biasanya atau bahkan tak pernah lagi bersimpuh menghadap-Nya dengan penuh khusyu?

apakah sering kita melantunkan ayat-ayat-Nya hingga khatam berkali-kali selama kita hidup di sini?

apakah kita semakin menkat kepada-Nya atau bahkan justeru sebaliknya?

Mungkin kita perlu kembali ke akar Iman kita hingga mampu memahami bahwa ada ruang kosong di dalam jiwa bernama IMAN yang telah tersapu dengan kemegahan Eropa. Andai saja kita pertajam diri kita menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, mungkin kita akan merasai alasan Bu Muti sekolah S3 karena semangat pembuktiannya tentang Islam. Andai saja kita sering mempraktekkan pertanyaan-pertanyaan di atas, kita mampu memahami kenapa kita harus lebih disiplin, kenapa kita harus lebih berkarya, kenapa kita harus menjadi yang terbaik. Alasannya tentu saja karena Allah. Karena pengakuan iman kita, karena pembuktian atas agama yang sudah diinjak-injak hingga terlabeli teroris, bodoh dan intoleran.  Karena alasan-alasan inilah yang seharusnya mampu menggerakkan kita untuk lebih serius menjalani hidup kita.

Semoga saja tak pernah terlambat. Karena bagi-Nya, yang terpenting adalah niat dan prosesmu menyempurnakan amal. Soal hasil dari ikhtiarmu, serahkan saja pada-Nya.

Bristol, 4 Juni 2017

-Ditulis setelah Subuh waktu Bristol, Inggris Raya.

Sumber gambar dari sini

Iklan

Satu komentar di “Hi Eropa, Saksikan bahwa aku seorang muslim

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s