“Abi.. Puasa itu bahasa Inggrisnya apa?” DeLiang menatapku datar. Berbisik pelan seperti kebiasaanya ketika berbicara di keramaian: malu-malu.
.
“Fasting. Puasa is Fasting. Nanti abi ajaring ngomong ke gurumu setelah turun dari bus.” Balasku meredakan kegelisahannya.
.
Hari ini adalah hari pertama DeLiang berpuasa sambil sekolah. Setelah bangun pagi (7am) dia kemudian sarapan, minum, sikat gigi, dan bersiap ke sekolah. Perjanjian awal kami dengannya soal puasa adalah dia harus menahan keinginannya untuk makan dan minum dari waktu sarapan hingga lunch. Lalu berlanjut lagi setelah lunch hingga dinner. Tidak ada penolakan, DeLiang sudah menyetujuinya sejak awal. Bisa jadi karena tahun lalu, dia sudah dikenalkan puasa setengah hari oleh ibunya di Indonesia.
.
“I am fasting but I (can) eat my lunch.” Ujarnya sambil memandangku. Kakinya masih sibuk menyusuri jalanan basah karena hujan sejak subuh tadi. Bristol mendung pagi ini.
.
“Begitu ngomongnya bi?” Lanjutnya mengkonfirmasi.
.
“Iyap.. Nanti ngomong gitu ke gurumu ya jika kamu diajak makan ketika snack time.”
.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah melepasnya dengan tenang tanpa memberitahukan gurunya jika dia sedang belajar puasa. Aku ingin melihat bagaimana dia melobi gurunya tentang puasa. Aku lalu bergerak menuju Queens Building, Umiversity of Bristol lokasi officeku berada. Melanjutkan rutinitasku menyelesaikan revisi PhD thesis.
.
Satu jam kemudian, ada pesan masuk di google chat. Aku sering mengabaikan semua pesan dan memakai google chat untuk berkomunikasi dengan Istri selama bekerja.
.
“Abi gak ditelpon sekolahnya DeLiang?” Tanya istriku khawatir.
.
Aku kaget mendengarnya lalu bergegas melihat HP-ku. Ada tiga panggilan tak terjawab dan notifikasi voice mail tertera di layar.
.
Aku bergegas mengambil telpon kantor disampingku lalu menelpon sekolah DeLiang. Tak berapa lama suara perempuan paruh baya yang aku tahu bekerja di bagian reception sekolah DeLiang menjawab. Aku kemudian menanyakan alasan mereka menelponku. Suara dari seberang menyuruhku untuk menunggu jawaban langsung dari Ms. Heidi, guru DeLiang.
.
“Oh Hi… I just want to confirm something about DeLiang. Dia gak mau dikasih snack dan minum sama sekali. Katanya dia puasa. He said he is fasting and insisted to reject any food and drink that we gave. We are wondering if he is fasting all day” Ms. Heidi mengurai kekhwatirannya. Aku tersenyum mendengarnya. Ada perasaan bahagia dan bangga yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
“Yes he is fasting but he can eat his lunch. He will start fasting again after that. Sorry for making all the teachers worried about him” Balaskan tenang.
“Ohh.. no worries it is completely fine. Don’t worry about that” Tutup Ms. Heidi, sebuah ucapan yang menunjukkan bahwa mereka menghargai bagaimana cara kami memperkenalkan puasa kepada anak kami.
—-
Hujan deras dan angin yang mendesau keras menyambutku ketika aku berjalan menuruni tangga menuju sekolah DeLiang dari kantorku. Pukul 3.15 adalah waktuku untuk menjemputnya.
Aku disambut oleh Ms. Dipika dan Ms. Heidi, dua guru DeLiang dengan senyum bangga dan sumringah mereka berujar:
“He is very strong today. He said continuously NO for any food and drink.”
Aku hanya tertawa mendengarnya sambil mengatakan kekagetanku jika dia akan bertahan puasa selama di Sekolah. Aku menatapnya bahagia dan melihat senyum polosnya.
“Abi belikan mainan lego buat kamu. Hadiah sudah berhasil puasa di sekolah.” Kataku sumringah. Raut wajah ceria seketika. Kaki kecilnya melompat kegirangan.
Bagi kami, membelikan hadiah mainan untuk anak HARUS memiliki ALASAN. Itu rule yang sudah kami bangun sejak DeLiang sudah mulai mengerti dan bisa meminta. Sebisa mungkin kami tidak akan membelikan mainan jika ia BELUM melakukan sesuatu. Sejak dia sudah mulai mengerti, Istri selalu menanamkan pemahaman kepadanya bahwa menginginkan sesuatu selalu butuh usaha. Membeli sesuatu butuh uang dan itu didapat setelah melakukan sesuatu.
“DeLiang punya uang untuk beli mainan ini?” Kata-kata ini ampuh kami katakan kepadanya ketika ia hendak menginginkan sesuatu, apapun itu, ketika belanja bersama. Tidak ada tantrum atau tangisan meraung-raung karena sejak lama rule ini kami disiplinkan untuk dijalankan.
DeLiang hari ini pulang dengan bahagia. Dengan cepat dia membuka baju seragam sekolahnya, merapikannya, lalu mandi sore seperti biasa.
“Aku buka aja mainannya. Gak dimainin. Nanti abis mandi dan pakai baju, baru dimainin. Boleh ya?” Katanya meminta ijin.
“Aku menganggukkan kepala sambil takjub dengan kesopanan dan kebaikannya.”
Bristol, 5 Juni 2017
-Ditulis untuk sebuah kenangan menjadi seorang Ayah. Semoga menjadi cerita bagi DeLiang dan anak-anaknya di masa depan
terharu baca ini.. thanks sdh berbagi cerita dan pengalaman.. 🙂