Sekolah Tiga Generasi

Bismillah…

Siang kemarin, sehari setelah usianya genap 5 tahun, DeLiang pulang sekolah dengan membawa foto bersama teman-teman satu kelas reception (seperti TK) di St. Michaels on the mount Primary School, Bristol. Wajahnya tanpa senyum, sama seperti Faith, gadis cilik asal inggris dikelasnya yang terkenal pendiam. Wajah-wajah teman-temannya dari berbagai penjuru dunia dan ras membuatku tersenyum melihat mereka. Ada Lewis keturunan China-Bristish yang jago matematika, ada Adam asal Turkey yang paling muda umurnya tapi paling chubby, ramah, dan perhatian. Juga ada Abdul Samad asal Somalia yang tingginya melebihi rekan-rekan sekelasnya, dan tak lupa Waka, si rambut ikal asal Arab Saudi yang jadi favorit saya.

Melihat DeLiang berdiri bersama rekan-rekannya dari berbagai negara seperti refleksi bagi saya tentang perjalanan sekolah 3 generasi dalam keluarga kami. Ayah saya, saya, dan tentu saja DeLiang. Berbeda dengan saya dan DeLiang yang cukup beruntung terakhir setelah era 1980-an, Ayah saya harus melewati masa pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas dengan perjuangan yang tak mudah. Di waktu SD, punya sandal jepit ke sekolah saja sudah mewah bagi teman sebaya ayah saya. Apalagi buku tulis, merekam pelajaran dari bebatuan adalah hal lumrah yang mereka kerjakan ketika harus menerima pelajaran dari para guru-guru asal Ambon yang rela bertugas di pelosok selatan Halmahera.

DeLiang3

Perjalanan pendidikan ayah kemudian punya cerita sendiri, dengan perahu layar kecil, pemberian kakek kami, ayah berlayar hingga ke Ternate dari pulau Makian, Halmehara Selatan berhari-hari lamanya. Semua itu dilakukan agar bisa mengecap pendidikan di SMP dan SMA yang saat itu banyak terpusat di Ibu Kota Kabupaten Maluku Utara, Ternate. Cerita ini juga tak jauh beda dari ibuku. Ayah sedikit beruntung karena menjadi anak tunggal di keluarganya. Punya perahu layar sendiri saat itu adalah hal yang jarang. Ibu sendiri harus menumpang kapal barang selama beberapa hari untuk bisa tiba di Ternate. Sampai-sampai mereka kapok untuk sekedar berfikir pulang kampung karena perjalanan yang menantang nyawa dengan medan yang tak mudah. Sesuatu yang tak lagi dirasakan saya dan DeLiang karena si burung besi akan dengan mudahnya menerbangkan kami ke Maluku Utara untuk sekedar merasakan nikmatnya ikan bangar, kehangat keluarga, dan tentu saja keindahan pantainya yang memukau. Cerita perjuangan sekolah Ayah-Ibu saya, sejak saya kecil, selalu menjadi cerita terbaik yang pernah saya dengar. Bahkan ketika sudah melanjutkan studi S3 ke Inggris-pun, cerita dari mereka ini selalu saya minta untuk diulang terus menerus saat sedang berada di Ternate.

Lain cerita dengan ayah saya, saya menikmati SD di Malifut, daerah pelosok Utara Halmahera yang lampunya hanya menyala dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Bahkan kadang-kadang lebih cepat dari itu. Sedikit beuntung dari ayah, saya sudah memiliki buku, tas sekolah, juga punya guru-guru yang cakap mendidik kami. Tapi tetap saja, sekolah di pelosok Indonesia tetaplah berbeda dengan mereka yang di kota besar. Hari-hari kami adalah hari-hari bermain tanpa perlu memikirkan pelajaran di sekolah. Tidak ada tuntutan tentang membangun mimpi besar menjadi seorang insiyur hebat juga dokter yang bisa membantu banyak orang. Yang lebih menyedihkan adalah SD saya saat ini tinggal nama dan kenangan karena sudah tidak ada lagi bangunannya. Akibat kerusuhan SARA 17 tahun lalu, SD saya terbakar dan sudah tidak ada lagi jejaknya. Suatu waktu, saya ingin mebawa DeLiang ke Malifut, Halamera Utara, untuk melihat lokasi bangunan SD saya yang sudah tinggal kenangan.

Maka melihat DeLiang adalah refleksi tentang sekolah tiga generasi. Betapa kehidupan sudah berubah secara drastis. Dari kisah ayah yang sekolah tanpa sandal dan perlu berlayar mengarungi lautan untuk menikmati bangku SMP dan SMA, lalu saya yang sedikit beruntung karena bisa meretas cita-cita sekolah hingga S3 ke Inggris. Dan kemudian, DeLiang. Ia bisa bergumul dengan suasana pendidikan gratis di UK yang sangat berkualitas. Melihatnya dididik untuk menciptakan cerita setiap minggu menjadi kepuasan tersendiri bagi kami. Imajinasinya ternyata dilatih terlebih dahulu sebelum belajar membaca juga matematika. Juga perubahan Bahasa dari Indonesia ke logat British yang sudah mulai menjangkitinya. Saat ini, DeLiang sedang berada di fase sudah mulai tidak mengerti beberapa kosa-kata dalam Bahasa Indonesia yang kami ucapkan. DeLiang seperti penegasan bagi saya tentang pesan Allah, Sang Pencipta, dalam Ar-rad ayat 11:

“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.“

Maka jika kamu ingin mengubah hidupmu, maka bekerja keraslah. Siapapun kita, tetaplah punya peluang yang sama. JANGAN MENYERAH.

DeLiang

Iklan

Satu komentar di “Sekolah Tiga Generasi

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s