Bismillah…
Adalah gempa dan tsunami Aceh 26 Desember 2004 (Mw 9.15) yang menjadi memori tak terlupakan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Bencana yang mengejutkan ini tercatat sebagai bencana alam yang memakan korban jiwa terbesar keenam sepanjang sejarah. Lebih dari 200,000 orang meninggal akibat bencana ini dengan kerugian ekonomi mencapai hampir 200 Triliyun Rupiah [1-3] yang diakumulasikan dari seluruh negara yang terkena dampak gempa dan tsunami di sepanjang wilayah peisisir Samudera India (e.g. Sri Lanka, Thailand, dan Indonesia). Ketinggian tsunami yang tercatat dari hasil observasi lapangan di Banda Aceh mencapai 35 m* [3-4]. Wajar jika sebagian besar masyarakat Aceh saat itu menganggap jika kiamat telah tiba karena kedahsyatan air bah yang terbawa lewat Tsunami memang mencengangkan dan terekam sebagai yang terbesar di sepanjang sejarah umat manusia.
Gambar 1: Tipe-tipe gempa
Tsunami tidak semata-mata terjadi hanya karena gempa. Gempa yang terekam dalam kehidupan kita tidak semua sumbernya dari dasar laut. Tsunami adalah bencana yang baru akan terjadi jika gempa bersumber dari laut. Kecuali tsunami di Palu kemarin yang memang diluar ekspektasi teoritis. Gempa dari laut yang menghasilkan tsunami-pun harus memiliki tipe tertentu untuk bisa menghasilkan tsunami. Tipe jenis gempa yang menghasilkan tsunami adalah gempa sesar naik dan turun (lihat Gambar 1). Hanya saja gempa sesar turun umumnya tidak menghasilkan tsunami yang signifikan. Coba bayangkan jika ada air dengan volume sebanyak lautan berada diatas tipe gempa sesar naik, maka dipastikan setelah terjadi pergeseran patahan, maka gelombang air yang besar akan terjadi dan terus mengalir hingga ke daratan (lihat Gambar 2). Aliran air bah inilah yang menghantam keras wilayah pesisir dan mengakibatkan kerusakan yang besar.
Gambar 2: Proses terjadinya tsunami [4]
SUMBER GEMPA 2004 DAN POTENSI GEMPA BERIKUTNYA
Sumber gempa dan tsunami tahun 2004 sendiri berasal dari wilayah laut Andaman (lihat gambar 3) yang berlokasi tepat di utara Provinsi Aceh. Gempa ini adalah gempa yang dihasilkan dari wilayah megathrust Sunda. Megathrust Sunda adalah daerah pertemuan dua lempeng raksasa yaitu lempeng Indo-Australia yang menusuk (menghujam) kebawah lempeng benua Eurasia (lihat gambar 4). Kejadian tsunami Aceh ini bisa dibilang tidak diprediksi oleh sebagian besar ilmuwan gempa dan tsunami karena hanya ada 2 kejadian gempa-tsunami cukup besar yang bersumber dari wilayah laut Andaman yaitu Gempa tahun 1881 (Mw 7.9) dan tahun 1941 (7.7) [6]. Akan tetapi, hasil riset menggunakan catatan 1,000 tahun sedimen tsunami di wilayah utara Sumatra pada tahun 2008, menunjukkan bahwa kejadian gempa-tsunami tahun 2004 pernah terjadi disekitar tahun 780-990 dan 1290-1400 yang berarti memiliki periode perulangan kejadian sekitar 600-700 tahun [6]. Oleh karena itu, kemungkinan gempa sebesar bencana 2004 (Mw > 9.0) ini baru akan terjadi lagi 6 abad kemudian. Tentu saja angka ini tidak absolut karena memprediksi secara tepat waktu gempa yang akan datang belum bisa dilakukan oleh teknologi atau metode apapun saat ini.
Gambar 3: Sumber gempa 2004
Gambar 4: Daerah subduksi Sunda
Mengingat perulangan gempa 2004 masih cukup lama (~600 tahun), maka fokus para ilmuwan gempa dan tsunami kini beralih ke sumber gempa lain di wilayah barat Sumatera yang juga berasal dari daerah megathrust Sunda. Sumber gempa ini adalah zona Mentawai yang berada disekitar kepulauan Mentawai (lihat gambar 4). Ada dua kejadian gempa-tsunami besar yang bersumber dari wilayah zona Mentawai yaitu gempa tahun 1797 dan tahun 1833 (Mw 8.7-8.9) [1, 7]. Kejadian tahun 1797 ini tercatat menghasilkan tsunami hingga 5 m di pesisir pantai Padang, sedangkan gempa-tsunami tahun 1833 mengakibatkan tsunami 3-4 m di Padang karena sumbernya yang lebih jauh dari gempa tahun 1797 (berada di Selatan Pulau Pagai; lihat gambar 5) [1, 7].
Berdasarkan hasil riset, perulangan gempa yang mirip dengan tahun 1797 dan 1833 adalah sekitar 200 tahun [1, 7-8]. Oleh karena itu, para ilmuwan gempa dan tsunami menyimpulkan bahwa ada potensi gempa besar (Mw ~9.0) yang bersumber dari zona Mentawai di megathrust Sunda yang akan terjadi di abad ini [14] **.
Gambar 5: Sumber gempa tahun 1797 dan 1833
PEMODELAN SUMBER GEMPA MASA DEPAN
Beberapa riset telah dikembangkan oleh para ilmuwan untuk memodelkan kejadian gempa masa depan yang bersumber dari zona Mentawai. Pemodelan gempa ini didasarkan pada kejadian 2 gempa masa lalu: gempa 1797 dan 1833 [1, 7]. Salah satu pemodelan yang dikembangkan untuk memetakan potensi gempa masa depan dengan mempertimbangkan semua ketidakpastian (uncertainty) sumber gempa adalah dengan metode STOCHASTIC. Metode ini memodelkan banyak sumber gempa secara random dengan mempertimbangkan karakteristik regional sumber gempa dari zona Mentawai seperti area sumber gempa, panjang dan lebar dari kerusakan patahan (fault rupture), hingga besarnya pergeseran (slip) patahan yang terjadi [9-11]. Metode ini bisa memodelkan sumber gempa dengan level moment magnitude (Mw) berbeda-beda.
Gambar 6 menunjukkan contoh model sumber gempa masa depan dari zona Mentawai-Sunda megathrust dengan Mw 9.0. Asperity area (zona akumulasi energi/slip) pada pemodelan di Gambar 6 adalah berdasarkan kejadian gempa 1797 [7, 11]. Model gempa 1797 dipilih karena menghasilkan efek tsunami lebih besar dibanding tahun 1833.
Gambar 6: Contoh pemodelan menggunakan metode stochastic – detailnya bisa dibaca di literature nomor [11]
LALU BERAPA BESAR EFEK TSUNAMI DI PADANG
Dengan menggunakan pemodelan stochastic, potensi tsunami di Padang bisa dipetakan dengan membuat 3 skenario gempa: Mw 8.5, Mw 8.75, dan Mw 9.0 (skenario terburuk). Gempa dengan Mw dibawah 8.5 sengaja tidak dipilih karena kemungkinan hanya akan menghasilkan tsunami yang sangat kecil (kurang dari 1 m) [11, 12]. Ada 300 model gempa yang dikembangkan untuk setiap skenario (total 900 model gempa) sehingga kita bisa melihat potensi besarnya tsunami yang terjadi di wilayah Padang. Tulisan ini banyak menampilkan hasil estimasi potensi tsunami dari skenario terburuk.
Lalu bagaimana efeknya?
Yang pertama, perkiraan waktu tibanya tsunami di Padang setelah terjadinya gempa bisa kita lihat dari profil ketinggian gelombang air laut yang berubah karena tsunami di Gambar 7. Dua titik di Tabing (P1) dan Purus (P2) diambil untuk melihat waktu perkiraan tibanya tsunami di peisisir pantai kota Padang. Profil gelombang air laut ini adalah untuk kejadian dengan Mw 9.0. Gambar ini menunjukkan bahwa hanya sekitar 15 menit setelah kejadian gempa, maka tsunami diperkirakan akan menghantam wilayah pesisir pantai kota Padang.
Waktu ini tentu sangat sempit dengan mempertimbangkan adanya pengumuman dari pihak penanggulangan bencana untuk segera melakukan evakuasi. Umumnya 7-15 menit adalah waktu yang dibutuhkan oleh para warga untuk MULAI melakukan evakuasi [13]. Dengan kemungkinan waktu yang singkat ini, mau tidak mau ketersediaan tsunami shelter untuk evakuasi sementara sangat penting (akan saya bahas di tulisan selanjutnya).
Gambar 7: Waktu kedatangan tsunami di Padang (A) lokasi pengambilan sampel, (B) profil ketinggian air laut di Tabing (P1), dan (C) Purus (P2).
Yang kedua, ketinggian tsunami yang terjadi di sepanjang peisir pantai kota Padang menggunakan skenario terbutuk (Mw 9.0) diperlihatkan lewat Gambar 8 berikut ini:
Gambar 8: Potensi ketinggian tsunami di pesisir pantai kota Padang (A) lokasi pengambilan sampel dan (B) potensi ketinggian tsunami
Potensi ketinggian tsunami bisa mencapai hingga 15 m dengan potensi ketinggian tsunami terendah sekitar 2 m. Gambar ini juga menunjukkan bahwa dengan metode stochastic, rentang/interval ketinggian tsunami bisa diukur tanpa harus terpaku kepada satu nilai absolut. Ketinggian 15 m ini tentu sangat signifikan sehingga warga disekitar peisisir pantai perlu waspada dengan kejadian tsunami [hasil lengkapnya bisa di lihat di [11].
Yang terakhir adalah potensi luapan air tsunami yang membanjiri wilayah kota Padang. Gambar 9 memperlihatkan wilayah kota Padang yang terkena dampak tsunami dari 3 skenario magnitude yang berbeda. Kedalaman tsunami bervariasi dari 0 m hingga 10 m. Perlu diingat bahwa pemodelan efek tsunami di darat ini tanpa mengikutkan keberadaan bangunan sehingga hasilnya bisa sangat signifikan. Jika mengikutkan model bangunan dan ketinggiannya, maka luapan tsunami bisa lebih kecil.
Gambar 9: Potensi wilayah terdampak tsunami di kota Padang
Demikian sekilas cerita tentang potensi bencana tsunami di Padang. Banyak hal detail yang sengaja tidak saya diskusikan di sini agar pembaca tidak semakin bingung. Jika tertarik bisa membaca paper-paper kami di literature nomor [12] dan [13].
CATATAN PENTING: Hasil yg saya tunjukkan di sini adalah untuk kejadian tsunami terburuk sebab ini untuk keperluan PEMETAAN POTENSI TSUNAMI. Bisa jadi kenyataan di lapangan bisa jauh lebih rendah (semoga).
Selanjutnya, saya akan membahas masalah perencanaan evakuasi bagi warga di Padang melawan tsunami. Stay tune!
Penulis meraih gelar Doctor bidang tsunami hazard and risk analysis dari University of Bristol, UK dan saat ini sedang menjalankan tugasnya sebagai PostDoctoral RA di School of Earth Science, University of Bristol. Jadi mohon maaf jika ilmu masih cetek dan jika ada kekeliruan mohon diluruskan.
*Ketinggian tsunami diukur dari tinggi air diatas permukaan laut, kedalaman tsunami diukur dari tingginya air diatas permukaan tanah sedangkan
**Kemungkinan terjadinya gempa besar dari zona ini juga masih menjadi perdebatan hangat di kalangan ilmuan. Tapi lebih baik kita siapkan kemungkinan terburuk daripada menerima kerugian besar di masa depan bukan?
[1] Natawidjaja, D.H., Sieh, K., Chlieh, M., Galetzka, J., Suwargadi, B.W., Cheng, H., Edwards, R.L., Avouac, J.P., and Ward, S.N. (2006). Source parameters of the Great Sumatran Megathrust Earthquakes of 1797 and 1833 inferred from Coral Microatolls. J. Geophys. Res. 111, B06403, doi:10.1029/2005JB004025.
[2] Rossetto, T., Peiris, N., Pomonis, A. et al. (2007). The Indian Ocean tsunami of December 26, 2004: Observations in Sri Lanka and Thailand, Natural Hazards, 42: 105. https://doi.org/10.1007/s11069-006-9064-3.
[3] Yashinsky, M. (2009). February 11 M7.2 EQ in Indonesia. EERI Newsletter, April 2009, Volume 43, Number 4, pp 9.
[4] https://en.wikipedia.org/wiki/Tsunami
[5] https://walrus.wr.usgs.gov/tsunami/sumatraEQ/Marchcomp.html
[6] Monecke, K., Finger, W., Klarer, D., Kongko, W., McAdoo, B. G., Moore, A. L., and Sudrajat, S.U. (2008). A 1,000-year Sediment Record of Tsunami Recurrence in Northern Sumatra. Nature 455, 1232–1234. doi:10.1038/nature07374.
[7] Philibosian, B., Sieh, K., Avouac, J.P, Natawidjaja, D.H., Chiang, H., Wu, C., Perfettini, H., Shen, C.C., Daryono, M.R., and Suwargadi, B.W. (2014). Rupture and Variable Coupling Behavior of The Mentawai Segment of The Sunda Megathrust During The Super Cycle Culmination of 1797 to 1833, Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 119, 7258–7287, doi:10.1002/2014JB011200.
[8] Konca, A. O., Avouac, J.P., Sladen, A., Meltzner, A. J., Sieh, K., Fang, Fang, P., Li, Z., Galetzka, J., Genrich, J., Chlieh, M., Natawidjaja, D. H., Bock, Y., Fielding, E. J., Ji, C., and Helmberger, D. V. (2008). Partial Rupture of a Locked Patch of The Sumatra Megathrust During The 2007 Earthquake Sequence. Nature 456, 631–635. doi:10.1038/nature07572.
[9] Goda, K., Mai, P.M., Yasuda, T., and Mori, N. (2014). Sensitivity of Tsunami Wave Profiles and Inundation Simulations to Earthquake Slip and Fault Geometry for The 2011 Tohoku Earthquake. Earth Planets Space, 66, 105, doi:10.1186/1880-5981-66-105.
[10] Mori N, Muhammad A, Goda K, Yasuda T and Ruiz-Angulo A (2017) Probabilistic Tsunami Hazard Analysis of the Pacific Coast of Mexico: Case Study Based on the 1995 Colima Earthquake Tsunami. Front. Built Environ. 3:34. doi: 10.3389/fbuil.2017.00034.
[11] Muhammad A, Goda K and Alexander N (2016) Tsunami Hazard Analysis of Future Megathrust Sumatra Earthquakes in Padang, Indonesia Using Stochastic Tsunami Simulation. Front. Built Environ. 2:33. doi: 10.3389/fbuil.2016.00033.
[12] McCloskey, J., Antonioli, A., Piatanesi, A., Sieh, K., Steacy, S., Nalbant, S., Coccob, M., Giunchib, C., Huanga, J. D., and Dunlop, P. (2008). Tsunami Threat in the Indian Ocean from a Future Megathrust Earthquake West of Sumatra. Earth Planetary Science Letter, 265, 61–81. doi:10.1016/j.epsl.2007.09.034.
[13] Muhammad, A., Goda, K., Alexander, N. A., Kongko, W., and Muhari, A.: Tsunami evacuation plans for future megathrust earthquakes in Padang, Indonesia considering stochastic earthquake scenarios, ACCEPTED in Nat. Hazards Earth Syst. Sci. Discuss., https://doi.org/10.5194/nhess-2017-75, 2017.
[14] Philibosian, B., Sieh, K., Avouac, J. P., Natawidjaja, D. H., Chiang, H. W., Wu, C. C., … & Lu, Y. (2017). Earthquake supercycles on the Mentawai segment of the Sunda megathrust in the seventeenth century and earlier. Journal of Geophysical Research: Solid Earth, 122(1), 642-676.
======================================================
Dapatkan buku-buku Ario Muhammad, PhD lewat link WA berikut: https://wa.me/6282126908782
Wah, tempat kami dekat dengan kota padang nih, semoga baik baik saja amin ya Allah