JANGAN IKUTI PASSION ANDA

PromoOktober2

Ikuti tulisan sang penulis dalam buku PhD Parents’ Stories – Menggapai Mimpi Bersama Pasangan Hidup yang bisa di pesan lewat link berikut: https://tinyurl.com/WA-BukuPPS 

“Sukses tidak lah bertumpu semata kepada seberapa passion-nya anda dengan pekerjaan yang anda geluti saat ini. Lebih dari itu, ia adalah gabungan kerja keras tanpa henti yang butuh kesabaran tak berbatas.”

Ditulis oleh Ario Muhammad, Ph.D 

Namanya Jun, lelaki berkacamata dengan tinggi 170 cm asal Tiongkok ini setiap hari akan berjalan mendaki dari park street – area pusat kota Bristol – menuju gedung Queens, University of Bristol untuk melakukan rutinitasnya: menjalani tugasnya sebagai sponsorship PhD student. Perusahaan yang membiyai riset S3-nya mengharuskan ia menghasilkan sebuah produk baru dalam waktu 4 tahun. Sebuah tugas yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan baik jika dia menikmatinya. Namun harapannya untuk menjalani studi S3 dengan baik dan penuh karya tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Istrinya yang baru ia nikahi di usia yang cukup muda – 23 tahun – terkadang membersamainya sambil menuntaskan perannya sebagai pendiri shopping online website[1] yang baru dirintis beberapa bulan. Wajah Jun lebih sering kusut sambil berujar kalimat ini: “I regret taking PhD, I should take a job in a company.”[2]

Seperti halnya Jun, Dr. Goda juga melakukan rutinitas yang sama dengannya setiap hari. Melewati jalur Queens Road bersisian dengan gedung Wills Memorial, kemudian mengambil jalan mendaki menuju gedung Queens Building, University of Bristol. Rutinitasnya akan dimulai pukul 9 pagi dengan tumpukan paper yang siap dibaca. Di depan pintunya, sebuah tanda “not available”[3] tergantung manis selama beliau membaca paper hingga siang hari. Setelah makan siang, beliau akan melanjutkan dengan menulis, melakukan simulasi, rapat, atau membagi waktunya untuk bimbingan dengan 4 mahasiswa S3-nya. Jika Jun sering mengungkapkan kata “I regret doing this”[4], maka Dr. Goda punya kalimat pamungkas yang berbeda “You have to love what you are doing. It is not a matter of doing what you love. It is about hard works”[5].

Jika melihat background Jun dan Dr. Goda, kita akan menemukan dua hal yang cukup berseberangan. Jun adalah lulusan S2 Electrical Engineering dari University of Nottingham, salah satu dari 100 universitas terbaik di dunia. Dia lulus dengan nilai fantastis, distinction[6], tentu saja dengan average nilai di atas 80. Sebagai gambaran, untuk memperoleh nilai distinction di UK, umumnya seseorang harus melewati angka 70. Jadi angka 80 untuk nilai rata-rata selama S2-nya termasuk angka yang fantastis. Disertasi riset S2-nya bahkan menembus angka 84. Pilihannya menjadi mahasiswa S3 adalah karena alasan klasik: this is my passion. I do really enjoy doing a research project[7].

Berbeda cerita dengan Jun, Dr. Goda justru memulai karirnya di dunia academia karena terjebak cinta. Apa daya, dia harus memperjuangkan gadis pilihannya yang merupakan warga negara Canada dengan memutuskan melanjutkan S3 di University of Western Ontario, Canada mengambil bidang yang berbeda sama sekali dengan latar belakang S2-nya di Pertanian yaitu seismologi[8]. Kala itu, Goda, belum menggondol gelar Doctor tentunya, menyadari bahwa proses membangun karir harus dimulai dengan membangun skill dan pengalaman yang kuat. Dan skill yang mumpuni terbentuk lewat proses belajar yang penuh komitmen, konsistensi, dan tentu saja kedisiplinan. Maka berbeda dengan Jun, Goda melewati PhD dengan penuh semangat, menghabiskan nyaris 80 jam per minggu untuk menuntaskan proyek S3-nya yang berbeda 180 derajat dari background pendidikan sebelumnya. Hasilnya, Dr. Goda akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai dosen di Nanyang Technological University dan University of Bristol (dua dari 50 kampus terbaik di dunia versi QS) 4 tahun setelah menjalani masa-masa penuh perjuangan mengasah skill dan pengalamannya sebagai researcher di Kanada.

Dua cerita ini kembali terngiang dipikiranku setelah menamatkan buku So Good They Cant Ignore You karya Dr. Calvin Newport. Cerita tentang Jun adalah potret bahwa tak selamanya kata-kata “aku passion dengan bidang ini” lalu dengan terburu-buru memutuskan berkecimpung di bidang tersebut akan mampu menjaga semangatmu dalam bekerja atau berkarya. Justru sebaliknya, teori follow your passion, ikuti passionmu, terkadang atau bahkan sebagian besar justru menjadi ancaman yang mampu mengantarkan kepada pilihan karir yang salah. Seperti kata Dr. Newport:

“In real world, the vast majority of people don’t have pre-existing passions waiting to be discovered and matched to a career. The real path to work you love, it noted, is often more complicated.”[9]

Fakta Tentang Passion

Adalah di tahun 2002, Robert J. Vallerand seorang psikolog asal Kanada melakukan sebuah riset yang didasari atas pertanyaan sederhana:

Apakah para mahasiswa mempunyai passion? jika ia, apa passion mereka?

Maka diambillah 539 mahasiswa di berbagai universitas di Kanada sebagai sampel penelitiannya. Hasilnya 84% dari mahasiswa yang disurvey mengatakan jika mereka benar-benar memiliki passion. Sebuah kabar yang menarik tentunya. Lalu apa passion mereka? 5 passion yang umumnya diyakini milik mereka adalah: dansa, hockey, skiing, membaca, dan berenang. Sayangnya 5 passion ini tidak punya kaitan langsung dengan pekerjaan yang ditawarkan di dunia nyata. Hanya 4 % dari jawaban para mahasiswa yang langsung berhubungan dengan pekerjaan.

Riset lain yang dilakukan oleh Amy Wrzesniewski seorang professor di bidang perilaku organisasi di Yale University lewat suvey yang mendalam dari ribuan responden yang menggeluti berbagai bidang pekerjaan dari programmer hingga dokter menyimpulkan bahwa:

“The happiest, most passionate employees are not those who followed their passion into a position, but instead those who have been long enough to become good at what they do.”[10]

Temuan ini membuka ruang berpikir kita untuk memandang kalimat passion sebagai hal yang tidak mudah ditemukan dan membutuhkan waktu yang lama untuk menggalinya. Bagi beberapa orang tertentu, sebut saja Joy Alexander, seorang prodigy dalam music jazz asal Indonesia yang memang terlahir dengan bakat yang memukau. Tentu saja bakat semacam ini jarang ada dan merupakan gift dari Tuhan Sang pencipta. Atau sebutlah Lilyana Natsir, kekuatan tangannya dan skill bulutangkisnya adalah salah satu yang terbaik dan langka yang sulit ditemukan di pemain puteri ganda campuran Indonesia lain saat ini.

PromoOktober3

Pentingnya Mengasah Skill

Adalah Zhao Yun Lei, penerima dua medali emas olimpiade London 2012 yang membuka mata kita bahwa tak selamanya skill dan gift dari Tuhan sebagai talenta yang akan mengantarkan kita menjadi tangga juara di dunia. Usianya ketika menjadi juara dunia di ganda campuran pertama kali adalah 25 tahun, seusatu yang cukup tertinggal dibanding dengan Lilyana Natsir yang sudah menjadi juara dunia di usia 19 tahun. Ketekunan dan latihan yang keras bisa mengalahkan bakat alam yang sudah dimiliki seseorang sejak lahir. Inilah yang mengantarkan Zhao Yun Lei menjadi salah satu pebulutangkis terbaik sepanjang sejarah mengalahkan capaian prestasi seorang Lilyana Natsir. Contoh lain adalah Carolina Marin. Pebulutangkis tungal puteri asal Spanyol ini membuat sejarah yang cukup menggemparkan dunia karena berhasil menjadi puteri Eropa pertama yang meraih medali emas di Olimpiade. Sesuatu yang aneh mengingat Spanyol bukanlah seperti Denmark yang merupakan negara penghasil pemain tingkat dunia dalam olahraga bulutangkis. Dia mengunguli Ratchanok Inthanon (Thailand) yang merupakan prodigy tunggal putri bulutangkis yang sudah memenangkan kejuaran dunia junior 3 kali berturut-turut. Rekor yang belum terkalahkan hingga kini. Carolina Marin selalu menjadi bayang-bayang May (sapaan akraB Inthanon) selam di Junior dan baru mengalahkannya di tahun ini. Namun prestasinya di senior terkalahkan oleh Carolina Marin yang lebih bersinar karena kerja keras yang dimilikinya.

Contoh dari Zhao Yun Lei dan Carolina Marin ini mirip dengan yang ditulis oleh Dr. Newport yang menyebutkan bahwa bagian terpenting dari memandang pekerjaan kita adalah keseriusannya dalam membangun career capital. Sebuah istilah yang dipakai oleh Dr. Newport untuk menamai skill. Carolina Marin berkali-kali harus latihan keberbagai negara yang kesohor bulUtangkisnya seperti Indonesia dan China hanya untuk mengembangkan skillnya. Zhao Yun Lei sendiri pernah bercerita bahwa proses latihannya justru lebih menyengsarakan dibandingkan bertanding di dua nomor sekaligus (ganda puteri dan ganda campuran).

Maka jangan mengambil keputusan terburu-buru dengan berhenti dari sebuah pekerjaan atau memutuskan menjadi seorang freelancer dari rumah jika kamu belum memiliki skill (baca career capital) yang mumpuni, apalagi venue (pasar) yang belum memadai. Menseriusi diri dengan mengasah secara terus menerus skill di bidang yang kita tekuni saat ini adalah cara yang paling tepat dibanding kamu melamun dan bergumam setiap hari sambil memikirkan panggilan jiwamu. Panggilan jiwa yang terburu-buru bisa jadi menyesatkan. Maka tetaplah bertahan dengan kekonsistenan mengembangkan diri. Di titik tertentu, kamu akan menyadari bahwa carrer capital yang suda kamu asah dengan sabar dan dalam waktu yang lama akan mengantarkan kepada sebuah capaian cita-cita yang lebih besar dari yang kamu bayangkan.

Mencintai Apa Yang Kami Kerjakan

Ada dua hal penting yang disebut Dr. Newport agar kita bisa mencintai apa yang kita kerjakan saat ini.

Pertama: memiliki kontrol

Punya kontrol yang besar dalam pekerjaan kita akan lebih membuat kita bahagia dibanding berada pada posisi dimana kontrol menjadi hal yang langka. Banyak riset-riset tentang kebahagiaan dalam bekerja sudah menunjukkan bahwa mereka yang punya kontrol dalam pekerjaan mereka cenderung lebih puas dan bahagia dibanding dengan mereka yang tidak memiliknya. Maka tidak usah heran jika melihat Radyum Ikono atau Novan Maulana, beberapa contoh dari CEO-CEO muda Indonesia yang sangat antusias menjalani karirnya membangun perusahaan Nano Technology di Indonesia. Latar belakang pendidikan mereka tentu saja bisa membuat mereka memilih jalur karir lain. Dosen misalnya atau yang lebih mentereng bekerja di perusahaan-perusahaan kelas wahid dengan gaji wah. Namun sadar atau tida sadar, kemampuan mereka untuk mengontrol pekerjaan mereka dengan lebih luas adalah salah satu alasan kenapa mereka begitu antusias menjalani perannya saat ini. Contoh lain adalah dr. Gamal Albinsaid. Seseorang yang dikenal sebagai dokter sampah yang sudah mendapatkan penghargaan tingkat dunia dari berbagai negara. Pertemuan dan diskusi dengannya beberapa tahun lalu ketika mengisi seminar bersama-sama menunjukkan kepadaku bahwa dr. Albinsaid lebih menikmati perannnya mengembangkan proyek asuransi sampah dibanding menyelesaikan masa-masa co-ass yang waktu itu masih digelutinya (tahun 2013). Karena disanalah dia lebih bisa melakukan kontrol atas karyanya. Lebih bisa amengatur ritme, waktu, dan misi yang sedang dirancangnya.

Kedua: harus menghasilkan uang

Mempunyai control saja tentulah tidak cukup. Seseorang akan lebih menikmati pekerjaannya jika dia mampu memiliki kestabilan secara finansial. Bayangkan saja jika kamu punya kontrol yang kuat dengan pekerjaanmu, sebutlah jika kamu seorang web designer freelancer yang bekerja dari rumah dan bebas memulai pekerjaan kapan saja tapi kemudian kamu tidak memiliki klien yang tetap dan membawa keuntungan secara finansial secara stabil. Maka bisa dipastikan, kamu justru akan memilih karir lain untuk mengamankan isi kantongmu. Sebutlah dengan melamar ke perusahaan yang lebih settle yang menerima backgroundmu.

Maka jika kamu sudah memiliki career capital yang mumpuni, pastikan menekuni sebuah pekerjaan yang juga menghasilkan kestabilan secara finansial. Dengan kontrol yang kuat dan kestabilan finansial ini, seseorang cenderung akan lebih bahagia dan pada akhirnya, akan lebih passionate dengan pekerjaan yang dia geluti.

—-

Tulisan ini ada dalam buku Notes From England.

NFE9

[1] Web jualan online

[2] Aku menyesal mengambil S3, aku seharusnya bekerja di perusahaan saja

[3] Tidak ada di tempat

[4] Aku menyesal melakukan ini

[5] Kamu harus mencintai apa yang kamu kerjakan. Ini bukan tentang mengerjakan apa yang kamu cintai tapi ini tentang kerja keras.

[6] Distinction sama dengan cum-laude dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) > 3.5

[7] Ini adalah passion-ku, aku benar-benar menikmati mengerjakan sebuah proyek riset

[8] Bidang yang berkaitan dengan gelombang gempa

[9] Di dunia nyata, sebagian besar orang tidak memiliki passion sejak awal yang selalu sesuai dengan pilihan karir yang dijalaninya. Faktanya, jalan menemukan pekerjaan yang kamu cinta, jauh lebih rumit dari yang umumnya orang ketahui.

[10] Yang paling bahagia dan yang punya passion dengan pekerjaan mereka adalah bukan mereka yang sejak awal mengikuti passion mereka, tapi mereka yang sudah lama bekerja hingga menguasai pekerjaan mereka dengan mudah.

Iklan

SEBAB SEORANG ISTRI TIDAK DICIPTAKAN UNTUK URUSAN DAPUR, SUMUR & KASUR SAJA

Ditulis oleh Fissilmi Hamida (@fissimihamida) penulis buku Notes From England

 

Ini kisahku, ketika bercakap-cakap dengan seorang lelaki atheis saat kami tengah memasak bersama di suatu pagi buta sebelum Subuh tiba, tepat saat hari Idul Adha. Sebuah percakapan tentang apa definisi “good husband” menurut dirinya, sebuah pemikiran dari seorang atheis yang membuatku tak bisa berkata apa-apa.

Kita bisa memetik pelajaran dari siapa saja, kan?

Saat itu adalah hari Idul Adha. Samar Samar kudengar suara seseorang sedang memasak di dapur yang terletak di ujung. Meski kamarku berada di ujung yang lain, tetap saja aku bisa mendengar saat piring bersentuhan dengan piring yang lain sehingga menghasilkan bunyi ‘cring‘.

Saat itu masih pukul 4.30 pagi. Masih jauh dari Subuh karena masa itu, Subuh disini hampir pukul 6 pagi. Tapi sudah ada yang sibuk di dapur? Penasaran, aku segera menuju kesana. Hmmmmm… penasaran hanya bumbu saja, karena aku juga memang akan ke dapur untuk memasak. Tentu saja aku harus memasak pagi-pagi sebab aku tidak ingin terlambat sholat Eid yang baru akan pertama kali aku lakukan di negeri Ratu Elizabeth ini.

Bunga

“Hi, morning,” sapa lelaki asal Tiongkok bertubuh kekar itu sembari jemarinya sigap memotong kentang.
“Morning,” jawabku sambil meraih pintu kulkas.
“Where is your wife?” tanyaku.

Lelaki itu adalah flatmate ku. Kami tinggal di flat yang sama, di Chantry Court 407 lantai 4, tapi beda kamar. Ia tinggal sekamar dengan istrinya. Untuk beberapa minggu, ia memang menemani istrinya disini sebelum kembali bertugas di Dubai.
“She is still sleeping,” (dia masih tidur), jawabnya. Kentang yang tadi dipotongnya, sekarang sudah berpindah ke atas wajan.
“Why doesn’t she cook for you?” (Kenapa dia nggak masak buat kamu? tanyaku.

Jujur, aku penasaran. Karena aku belum melihat istrinya ke dapur untuk memasak. Sesekali memang istrinya menemani di dapur. Tapi hanya duduk menemani, bukan untuk memasak.
“She can’t cook. So, it’s my responsibility as her husband to serve her,” (dia tidak bisa memasak. Jadi, tanggung jawabku sebagai suaminya untuk melayaninya), jawabnya, membuatku sedikit tersentak.

Karena istrinya tidak bisa memasak, lelaki itu menganggap bahwa dia sebagai suami yang harus bertanggung jawab melayani istrinya. Jawaban yang menarik dari seorang atheis. Aku jadi tertarik melanjutkan perbincangan dengannya, melupakan sayuranku yang baru separuh aku potong.

“Wow, nice,” ucapku. “So, you don’t think that a wife must be able to cook?” (jadi menurutmu, seorang istri nggak wajib untuk bisa masak?, sambungku lagi.

Lagi-lagi ia tersenyum. Ia memang murah senyum. Setelah memasukkan daging ke dalam wajan, ia berbalik arah menghadapku.

“Yeah, I never think that way. Who says that a wife must be able to cook?” (Memangnya siapa yang mewajibkan seorang istri harus bisa memasak?) Ia berbalik arah, menambahkan air pada masakannya.

NFE5

“But many people think that way, declaring that cooking is wife’s responsibility. What do you think.” (tapi banyak yang kekeuh kalau memasak itu ya tugas istri.) kataku.

“Yeah, they do, but I don’t.” (Aku nggak berpikir kayak mereka). Ia memberikan sedikit merica bubuk pada masakannya.
“In my marriage principal, there is no exact separation of duty like a wife must do bla bla bla and a husband must do bla bla bla. It’s more about helping each other, sharing the duty together,“ (Dalam prinsip pernikahanku, nggak ada pembagian pasti tentang istri harus begini, suami harus begitu. Menikah itu menurutku tentang bagaimana kita saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama). jawabnya, kembali membuatku tersenyum.

Interesting!

“Can’t agree more about that. But too bad that many people are still standing on that old belief,” (Setuju. Sayangnya, masih saja ada orang yang berpikiran begitu), timpalku.

“Yeah, it happened in my life too. Some people questioned my decision to marry a woman who can’t do housewife jobs. But the ability to do a housewife jobs is not a basic principal for marriage life,” (Aku juga mengalaminya, kok. Banyak yang bertanya-tanya kenapa aku mau menikahi perempuan yang nggak bisa melakukan pekerjaan rumah tangga. Tapi, kemampuan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga bukanlah prinsip dasar sebuah pernikahan), katanya.

“And, I marry her the way she is. Not because she can do something.” (Dan aku menikahinya karena apa adanya dia, bukan karena dia bisa atau tidak bisa melakukan sesuatu). Lagi-lagi aku tidak bisa bilang untuk tidak setuju.

“Absolutely,” kataku sambil melanjutkan pekerjaanku : memotong-motong sayuran.

“Furthermore, she is here to study. So, how can I demand her to serve me?” (Apalagi dia disini untuk kuliah. Bagaimana mungkin aku tega menuntutnya untuk melayaniku?) Ia mengecilkan kompor.

Ya Tuhan. Bikin baper nggak, sih? Benar-benar suami yang baik.

“So, you don’t mind anything about this?” (Jadi kamu sama sekali nggak masalah dengan semua ini?) Sekadar memastikan. Siapa tahu lelaki itu pernah berada pada satu titik dimana ia merasa keberatan dengan kehidupan pernikahan yang dijalaninya.

“I don’t mind anything. This is one of my way to love her,” (Sama sekali nggak masalah. Ini justru salah satu caraku untuk mencintainya), katanya.

Sumpah. Ini manis sekali!

“She is lucky to have you,” (Dia beruntung memilikimu), kataku. Dia kembali tersenyum.

“And so am I. I am lucky to have her. She can accept all weaknesses I have, so why I shouldn’t accept her weakness too?” (Aku juga beruntung memilikinya. Kalau dia saja bisa menerimaku dengan segala kekuranganku, kenapa aku enggak?

“Anyway, you are Muslim, aren’t you? “ (ngomong ngomong, kamu muslim, kan?) tanyanya, memecahkan lamunanku yang tetiba teringat akan suamiku tercinta.

“Yes, I am. Why?” tanyaku.

“Is it okay for you to cook with me? I heard that Muslims are forbidden to eat pork but now I am cooking pork,” (Kamu nggak papa masak bareng aku? Setahuku muslim nggak boleh makan babi, dan ini aku masak babi). katanya. Rupanya daging yang dimasaknya adalah daging babi.

“It’s okay. As long as we dont cook in the same pan and we don’t wash it with the same sponge, it’s okay. No need to worry,” (Nggak apa apa. Selama kita nggak masak pakai wajan yang sama dan cuci piring pakai spons yang sama, nggak masalah), jelasku.

Kami memang memasak di dapur yang sama, tapi lelaki itu sangat mengerti batasan. Ia sama sekali tidak pernah menyentuh peralatan masakku, termasuk juga peralatan makan. Ia juga memakai spons yang berbeda untuk mencuci peralatan dapurnya.

“Hey, I am done. I have to wake her up to have breakfast together,” (Eh, aku udah selesai. Aku mau membangunkan istriku dulu untuk sarapan bersama), katanya, berpamitan untuk membangunkan istrinya untuk mengajaknya sarapan bersama.

Sungguh, masih lekat dalam ingatan ketika aku begitu meradang melihat banyak lelaki dan para suami di timeline facebook-ku ramai-ramai men-share sebuah meme dengan foto Menteri Susi yang diberi caption :

“YANG ISTRINYA NGGAK BISA MASAK, TENGGELAMKAN!” atau “PUNYA ISTRI NGGAK BISA MASAK? TENGGELAMKAN!

Pernah lihat, kan meme menyebalkan ini?
Duhai, sayang. Andai semua lelaki berpikiran seperti ini, maka meme menyebalkan untuk “menenggelamkan” istri yang tidak bisa memasak itu tidak akan pernah ada.

Semoga kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua, agar tak semena-mena “menenggelamkan” istri hanya karena ia tidak bisa memasak atau kurang terampil melakukan pekerjaan rumah tangga, sebab seorang istri tidak diciptakan Tuhan untuk urusan dapur, sumur, dan kasur belaka.

NFE6

NFE8

Ebook: https://tinyurl.com/PPS-ebook

Selain itu,
“…. sebab sejatinya, menikah itu tentang bagaimana saling membantu dan saling memikul tanggung jawab bersama.”
Dan dari pada saling menenggelamkan, bukankah lebih baik berlayar bersama, saling bahu membahu menjalankan biduk rumah tangga? 😊

Masa itu, setelah lelaki berpostur tinggi itu kembali ke kamarnya untuk membangunkan istri tercintanya, aku kembali melanjutkan pekerjaanku, sembari membayangkan wajah lelaki tercintaku, dengan segala cinta tak bersyaratnya untukku.
Terimakasih, Tuhan, telah Kau ciptakan dia untukku.

Pertamakali ditulis saat itu,
Di Denmark Street, Bristol
25 September 00.30 UK time.
11° C
____________________________________________
Kalian tahu. Selepas suaminya kembali ke Dubai, sang istri berusaha keras untuk mencoba memasak sendiri daripada terus menerus membeli makanan siap saji. “Aku ingin memberi kejutan untuk suamiku saat aku bertemu dengannya lagi nanti,” begitu katanya. Aku bercanda meledeknya. Memegang pisau saja ia kaku sekali. “Lihat saja. Aku pasti bisa jadi sehebat chef ternama!”. Lalu kami tertawa bersama.

Aku tersenyum melihatnya begitu bersemangat memporak-porandakan dapur dengan contekan di sebelahnya, entah dari buku resep, atau contekan dari smartphone-nya. Benar, kami memang sering memasak bersama. Kami memang dekat dan akrab. Sebab penghuni kamar lainnya di flat kami adalah berjenis kelamin pria. 6 bulan berlalu. Saatnya sosok berambut panjang hitam dan lurus yang tak pernah mau berpakaian pendek saat ada lelaki di dapur itu harus kembali ke negaranya. Aku sedih. Namun aku juga bangga padanya. Ia yang dulu tak pernah menyentuh dapur seumur hidupnya, kini berhasil menaklukkannya, meski mungkin memang belum sehebat beberapa yang lainnya.

Tak bisa kubayangkan betapa manisnya saat ia dan suaminya kembali bersua, dan suaminya mendapatinya telah mampu menyajikan masakan lezat yang begitu menggugah selera. Yah… meski aku tak pernah berkesempatan mencicipi masakannya lantaran ia seringkali memasak babi & menggunakan minyak babi di masakannya 

Sumber gambar: ummi online.

——–

Ayo pesan buku yang ditulis oleh penulis berjudul NOTES FROM ENGLAND.

NFE7

Paket 1

NFE9

Ebook: https://tinyurl.com/NFE-ebook

NFE10

BELAJAR FOKUS DARI SEORANG HAFIDZAH, CALON DOKTOR BIDANG KIMIA

DAPATKAN BUKU PhD PARENTS’ STORIES – MENGGAPAI MIMPI BERSAMA PASANGAN HIDUP

Mau tahu kisah seru kami saat studi S3 sama-sama di Inggris bersama 2 anak kami? Buku terbaru saya PhD Parents’ Stories: Menggapai Mimpi Bersama Pasangan Hidup akan mengupas semuanya dengan tuntas. Kalian akan diajak berkelana menuysuri hikmah tentang jodoh dan memilih pasangan hidup agar mimpi kalian tetap tergapai, pentingnya menuntut ilmu bagi para muslimah, perjuangan seorang Ibu dengan 2 anak yang studi S3 di Inggris, hingga pesan-pesan parenting berlatar sains dan agama yang disajikan dalam bahasa yang gurih tertuang dalam buku ini. Investasikan 70rb anda untuk mendapatkan buku ini (belum ongkir).

DI

Bagi yang tertarik, bisa melakukan pemesanan awal lewat link berikut: https://tinyurl.com/WA-BukuPPS

PH9

EBOOK

Versi ebook (google play book) bisa langsung beli di sini: https://play.google.com/store/books/details?id=swZuDwAAQBAJ

——

BELAJAR FOKUS DARI SEORANG HAFIDZAH, CALON DOKTOR BIDANG KIMIA

Langit Aberdeen masih berkabut seperti biasanya. Letaknya di bagian timur laut Skotlandia, menegaskan bahwa wilayah ini sering dihantam oleh angin yang kencang dan suhu udara yang menggigit. Ketika musim dingin tiba, kota ini akan dikenal sebagai yang terdingin di seantero inggris raya. Letak Skotlandia yang berdekatan dengan Kutub Utara menjadi alasan terbesar kenapa kota-kota di daerah ini menjadi langganan suhu tak wajar, apalagi bagi anda orang Indonesia.

Di kota granit inilah, University of Aberdeen (UoA) berada, sebuah kampus megah dengan arsitektur Eropa itu menjadi rumah kedua bagi seorang mahasiswi asal Mojokerto, Jawa Timur. Namanya Zeni Rahmawati. Sudah dua tahun terakhir ini, dia menghabiskan waktunya melakukan riset di lab Surface Chemistry and Catalysis, University of Aberdeen dibawah bimbingan Prof. James Anderson. Setiap harinya, Zeni akan menghabiskan waktu menekuri bahan-bahan kimia dilabnya untuk menuntaskan misinya berangkat ke negeri ratu Elizabeth: MENGGONDOL GELAR PhD. Mengerjakan riset di laboratorium selama di Aberdeen ini, seperti fragmen cerita yang terulang kembali baginya. Beberapa tahun silam, di ujung timur Jawa Indonesia, di kota Surabaya, ketika matahari sudah tenggelam dan waktu malam mulai merambat, Zeni, masih sibuk bekerja di laboratorium kimia Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) untuk menyelesaikan riset S2-nya. Dua hal yang sama terjadi, namun di dua lokasi yang berbeda tempat dan benua, adalah hafalan al-qur’an yang senantiasa mengiringi Zeni menuntaskan pekerjaan risetnya.

Edensor

Edensor

Di Nusantara, kita mungkin sering menjumpai penghafal Al-qur’an di pesantren-pesantren yang berada hampir di seluruh Indonesia. Namun tidak untuk para pelajar yang berlatar belakang kelimuan umum. Ditengah kesibukan mereka mengejar ilmu, bisa menjadi seorang penghafal al-qur’an 30 Juz adalah hal yang langka. Zeni Rahmawati adalah sosok pengecualian. Menjelang akhir studi S1-nya di jurusan Kimia, ITS, Zeni membuat satu misi besar dalam hidupnya: MENGHAFAL AL-QURAN. Sebuah misi yang agung bagi seorang muslim karena tidak semua orang dapat merasakannya.

TUJUAN YANG MULIA

“Aku punya TIGA alasan terbesar kenapa aku menghafal Al-qur’an.” Kata zeni membuka wawancaraku dengannya via skype beberapa waktu yang lalu. Baca lebih lanjut

OPEN PRE-ORDER BUKU PhD Parent’s Story

Promo8

Link pemesanan: https://tinyurl.com/EmakPhD

Siapa bilang pernikahan MENGHAMBAT PEREMPUAN menggapai mimpinya?

Bukankah bersama pasangan hidupmu meraih cita-cita terasa lebih indah?

Bukankah berjuang bersama belahan jiwamu terasa lebih mudah?

Siapa bilang muslimah dengan segala identitasnya tidak bisa melanglang buana di negeri barat dengan hiruk piku islamophobia-nya?

Bukankah berkelana dengan identitas jilbabnya akan menegaskan bahwa perempuan muslim tidaklah jumud lagi tertinggal?

Bukankah muslimah yang merasakan pendidkan di kampus-kampus terbaik di negeri barat adalah sarana untuk menjawab stigma negatif mereka terdapat islam?

Siapa bilang ibu rumah tangga yang punya tugas luar biasa sebagai istri, ibu, dan anak tidak bisa berpendidikan tinggi?
Bukankah darinyalah lahir generasi-generasi tangguh penakluk dunia?

Bukankah teladan para ummul mukminin, istri Rasulullah saw adalah penghulu ilmu yang kecerdasannya menguatkan perjuangan suaminya?

Buku ini hadir melukis perjuangan sepasang keluarga yang melanjutkan studi S3 (PhD) di Inggris raya.

Bertajuk PhD Parents’ Story – Menggapai Mimpi Bersama Pasangan Hidup, buku ini menerjemahkan cerita tentang meraih cita-cita bersama pasangan hidup dengan meneladani sosok Rasulullah saw dan Khadijah ra. Anda akan dibawa bercerita tentang membangun fondasi keluarga dimulai dengan MEMILIH PASANGAN HIDUP. Menerjemahkan cerita insan manusia di Inggris Raya yang mengartikan pernikahan dengan tafsir berbeda-beda. Hingga menggali hasil-hasil riset tentang semangat membangun pernikahan yang kuat visinya. Semunya dikuliti dalam buku ini sehingga mampu mencerahkan pemikiranmu tentang pernikahan.

Lalu perjuangan istri dan ibu dalam sebuah keluarga tak bisa kita lupakan. Kalian akan dibawa melihat pasang surutnya perjuangan seorang ibu dua anak selama melanjutkan studi S3 di Inggris raya. Dari perjuangan mencari beasiswa S3 yang tak mudah, hamil menjelang sidang kandidasi tahun pertamanya, hingga tentu saja berkejaran dengan sibuknya rutinitas rumah tangga sedangkan riset PhDnya menanti untuk dituntaskan. Mengupas berbagai teori dari para ilmuwan tentang ibu pekerja melengkapi cerita dalam buku ini termasuk meraup hikmah dari para ibu PhD di Inggris raya.

Tak lupa, parenting adalah hal terpenting yang selalu membersamai buku tentang keluarga. Fakta sains dan hikmah dari Al-Qur’an seperti semangat mendidik Yusuf as yang diajarkan Yaqub as, hingga belajar membangun motivasi, growth mindset, dan mempersiapkan kesuksesan masa depan anak dibahas dengan gamblang. Termasuk warna-warni cerita mendidik anak muslim di Inggris dengan segala tantangannya. Mengajarkannya puasa di musim panas yang lama siang harinya hingga menuntunnya melafazkan huruf-huruf hijaiyah di tengah kesibukannya di sekolah. Juga cerita tentang pengalaman merasakan sekolah TK&SD di Inggris oleh anak kami.

Bergabunglah bersama lebih dari 1,700 calon pembaca buku ini dan nikmati hikmah serta keseruannya. Silahkan mengisi data pemesan di link ini: https://tinyurl.com/EmakPhD

Sisihkan 60rb dari domptemu (termasuk ongkir dalam pulau jawa), lalu genggamlah buku ini.

DAFTAR ISI

 

BAB I: MEMILIH PASANGAN HIDUP

              Belajar Dari Kisah Cinta Rasul dan Khadijah

              Menentukan Kriteria

              Meminang Dirinya Saat Tak Mapan

              Manggapai cita-cita bersama pasangan hidup

              Tidak Ada Hapily Ever After Dalam Pernikahan

             

BAB II: PERJUANGAN PEREMPUAN SEMESTA

              Hi Eropa, Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim

              Kejarlah Mimpimu Wahai Muslimah

              PhD Mom’s Story: Warna-Warni Menjadi PhD Mom

              Manajemen Waktu Efektif

              Gelar Doktor Ini Buat Mama

 

BAB III: DUNIA PARENTING

             Menjadikan Anak Sukses di Masa Depan

             Jangan Biarkan Rumah Anda Tanpa Aturan Parenting

             Motivasi Saja Tidak Cukup

            Membangun Karakter GRIT Pada Anak

            Belajar Growth Mindset Dari DeLiang

 

BAB IV: BELAJAR DARI MEREKA

              Namanya Muhammad DeLiang Al-Farabi

               DeLiang, Mainan dan Puasa Pertamanya di Inggris

              From Paris With Love: I Love You, Dad!

              Mengajarkan Islam Padanya

              Ini Yang Lebih Penting Dari Ranking Di Kelas