Bismillah..
Langit masih terang bederang, sedangkan sinar mentari masih memancarkan hangatnya ditengah bukit-bukit kecil yang terjal. Sungai-sungai yang jernih, terlihat kehijau-hijauan melengkapi kesempurnaan hamparan pemandangan disepanjang perjalan 2 pemuda itu. Mereka masih menarik nafas mereka yang sempat memburu ketika sama-sama mengejar kereta di pagi yang cukup panas. Salah seorang dantaranya menertawakan dirinya sendiri. Entah ini yang keberapa, namun yang jelas, kisah bersama kereta selalu saja membuat banyak tawa. Rupanya, pemuda berbaju cokelat disampingnya masih kelihatan dongkol. Itu menurutku yang menyaksikan mereka berdua tergopoh-gopoh mencari gerbong dan tempat duduk di pagi itu. Seperti biasa, pemuda berbaju cokelat itu masih duduk tenang, meski dengan raut yang masih tak nyaman atas kejaidian yang menimpanya beberapa menit yang lalu. Buatnya -mungkin- ini keteledoran yang tak bisa diulangi 🙂
Keduanya kemudian melempar senyum. Rupanya mereka adalah sahabat dekat. Cukup dekat sepertinya, terlihat dari bahasa-bahasa yang mereka pakai. Bahasa-bahasa se-frekuensi dengan tema-tema lintas generasi yang hangat mereka bicarakan. Namun, jika kuperhatikan, kedekatan mereka sepertinya juga bukan sebuah kedekatan biasa. Kedekatan yang penuh misi mungkin. Misi keabadian yang mereka cari, meski ketika kuperhatikanpun, mereka tak lebih dari dua pemuda biasa yang masih sama-sama belajar. Belajar mencari cinta lebih tepatnya. Belajar memknai kata cinta menjadi kalimat-kalimat kerja dalam hari-hari mereka. Kata cinta yang berujung pada Allah, Tuhan mereka. Cinta yang -mungkin- mirip defenisinya ketika Umar RA, menggantikan cintanya kepada diri dan keluarga menjadi sebuah cinta melangit untuk Muhammad Sang Nabi mulia. Ya.. saya yakin kedua pemuda itu sedang belajar memaknai ejawantahan perasaan cinta menjadi sebuah kata kerja -semoga-.

Baca lebih lanjut →