Namanya Muhammad DeLiang Al-Farabi

Bismillah…

Nafasku masih memburu ketika kucegat taxi siang itu. Pikiranku masih penuh setelah menerima terlpon dari rumah sakit 10 menit yang lalu.

“Kita di suruh milih yah, mau pulang atau di induksi?” Lirih istriku. Suaranya terlihat pesimis. Aku sendiri masih sibuk dengan makan siangku ketika ditelpon olehnya. Siang itu, aku memang sengaja kembali ke rumah beberapa saat karena mengambil beberapa barang penting untuk rawat inap istriku yang kami duga sebentar lagi akan melahirkan.

“Kontraksinya sudah mulai berhenti” sambungnya sedih. “Ayah ke sini segera ya, nanti kita diskusikan sama-sama.” Tutup istriku. Aku kemudian sedikit khawatir, tapi mencoba untuk tetap tenang. Dengan cepat, aku bereskan semua keperluan dan mencegat taxi di samping apartemen kami.

Mobil kuning itu sudah membelah jembatan penghubung antara Taipei dan Taipei New City. Taipei water department sudah mulai terlihat. Sebentar lagi, mobil ini akan menembus lurus menuju Chirldren Hospital of National Taiwan University. 15 menit kemudian. Aku sudah berada di depan rumah sakit.

Setelah membayar biaya transportasiku. Aku sedikit berlari menuju lift menuju lantai 9 yang merupakan ruang operasi untuk melahirkan.

“Gimana yah?” Tanya istriku sedikit khawatir. “Di induksi sakit sekali lo yah!” Nadanya semakin melemah. Aku mulai bingung.

“Tapi bunda sidang 10 Juli. Sepertinya memang di induksi saja biar bunda punya waktu yang cukup untuk mempersiapkan sidang Thesis. Tapi setelah di induksi berapa lama ya kira-kira hingga melahirkan?” Lanjut istriku. Kali ini sudah sedikit tenang. Sepertinya keberadaanku disampingnya membuat suasana menjadi lebih terkendali.

“Kita induksi saja ya? Sepertinya sakitnya sama saja dengan yang normal. Tapi sebelumnya kita pastikan dulu beberapa masalah yang ingin kita ketahui.” Jawabku diplomatis. Aku kemudian menyesali pernyataan ini. Membenci kurangnya pengalaman dan pengetahuanku tentang proses melahirkan. Aku baru tahu beberapa jam kemudian, kalau induksi bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa dibandingkan melahirkan secara normal. “Aku lebih menyarankan para pasien untuk di secar di banding di induksi” Kata seorang sahabat dokterku, 3 pekan setelah kelahiran anakku. Obrolan kami yang singkat itu membuatku semakin merasa bersalah mengambil keputusan induksi di hari itu.

DeLiang

DeLiang sesaat setelah kelahirannya

Baca lebih lanjut

Iklan

Belajar Dari Sekolah TK di Inggris

Bismillah..

Bulan lalu, DeLiang resmi menyelesaikan sekolah level reception (selevel) TK di St. Michaels on the mount primary school, Bristol-Inggris. Sistem pendidikan di UK memang sedikit berbeda dengan di Indo. Di sini sebelum “SD” ada kelas reception untuk anak usia 4-5 tahun. Kemudian mereka akan memasuki year 1 di usia 5-6 tahun hingga year 6.

Saya mencoba merangkum hal-hal penting yang bisa kita ambil pelajaran dari sistem pendidikan di Inggris Raya.

PERTAMA: Orang tua dilarang melupakan bahasa ibu mereka.

Entah ini hanya di sekolah DeLiang atau tidak, saya pernah menemukan orang tua yang “disetrap” oleh guru DeLiang karena ngomong bahasa Inggris in daily basis dengan anaknya. Mereka dari Somalia. Sebagian besar anak-anak Somalia memang sudah bisa berbahasa Inggris sebelum masuk TK. Tapi ternyata dilarang mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak kita dan biarkan mereka belajar sendiri di sekolah.

Saya tidak tahu jelas alasannya. Tebakan saya karena untuk menjaga bahasa Ibu sang anak dan memudahkan sang anak belajar langsung bahasa Inggris dari para native speaker.

Berbeda dengan beberapa orang tua lain yang kami kenal sudah memperkenalkan bahasa Inggris sejak dini, terutama mereka yang berencana menyekolahkan anaknya di Inggris sambil studi. Kami tidak pernah mengajarkan DeLiang berbahasa Inggris sebelumnya. Kami membiarkan dia tumbuh dengan seluwes-luwesnya tanpa ada proses belajar rutin sampe dia masuk sekolah. Pun ketika memulai sekolah TKnya di Inggris, kami sangat jarang berkomunikasi dalam bahasa Inggris di rumah selama di Bristol.

DeLiang3

Baca lebih lanjut

TIPS PARENTING: Pentingnya membuat aturan di rumah

Bismillah…

Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.

Kemarin, karena masih mendalami isi buku HOW CHILDREN SUCCEED-nya Paul Tough, saya kemudian menonton beberapa episode SUPERNANNY UK yang sudah lama sekali tidak saya ikuti. Ada dua episode yang saya tonton, pertama episode keluarga Cook dengan 3 anak perempuannya dan keluarga Porter dari Somerset, UK. Dua episode ini punya masalah yang unik. Keluarga Cook memiliki anak perempuan tertua bernama Megan. Dia liar, tak terkontrol, kasar, tidak respect sama ayah-ibunya (terutama Ibunya) dan bertemperamen tinggi. Sebagai yang tertua (7 tahun), Megan “sukses” menurunkan karakter liar ini kepada ke dua adiknya. Perjalanan mereka ke sekolah, adalah episode paling liar bagi keluarga kecil ini. Megan akan memukul dengan kasar adiknya jika dia merasa tergannggu, hingga memaki Ibunya dengan kata-kata Kasar.

Lain cerita dengan keluarga Cook, di Episode keluarga Porter ceritanya sedikit berbeda, Madison adalah anak berusia 9 tahun, kakak dari Ron (7 tahun) yang akan melakukan tantrum tanpa henti seperti toddler dan punya princess-syndrome Karena semua hal harus dilayani. Sang nanny kemudian melakukan observasi selama beberapa hari lalu kemudian menemukan masalah-masalah berikut ini di keluarga Cook dan Porter:

(1) PERAN IBU YANG “CACAT”

Denise, Ibu dari Megan adalah sosok yang sangat emosional dan juga kasar. Megan anaknya benar-benar merupakan versi junior sang Ibu. Kata-kata yang keluar dari mulut Megan selalu mirip dengan Denise: kasar dan emosional. Selama proses beradu argumen, Denise begitu meluap emosinya dan hampir tidak pernah mendengar pndapat Megan. Akibatnya, dengan bersuara lebih keras dari Ibunya lah Megan menemukan solusi untuk berkomunikasi. Maka dialog Denise dan Megan ini selalu berakhir dengan adu argumen, saling menampar wajah, memukul, hingga adegan liar lain yang sebagai orang tua kita merasa kasihan menyaksikannya. Denise begitu mudah tersulut emosinya karena dia merasa gagal menjadi Ibu bagi ketiga anaknya. Apalagi melihat tingkah Megan yang begitu tak terkendali. Selain itu, Suminya adalah seorang Polisi, full-time worker yang hanya membantunya melakukan parenting ketika Sore tiba. Beban fisik dan mental ini membuat Denise tumbuh menjadi Ibu yang rapuh, gampang emosi dan tidak mampu melakukan perannya dengan baik.

(DeLiang saat berada di POJOK REFLEKSI)

Baca lebih lanjut