Sekolah Tiga Generasi

Bismillah…

Siang kemarin, sehari setelah usianya genap 5 tahun, DeLiang pulang sekolah dengan membawa foto bersama teman-teman satu kelas reception (seperti TK) di St. Michaels on the mount Primary School, Bristol. Wajahnya tanpa senyum, sama seperti Faith, gadis cilik asal inggris dikelasnya yang terkenal pendiam. Wajah-wajah teman-temannya dari berbagai penjuru dunia dan ras membuatku tersenyum melihat mereka. Ada Lewis keturunan China-Bristish yang jago matematika, ada Adam asal Turkey yang paling muda umurnya tapi paling chubby, ramah, dan perhatian. Juga ada Abdul Samad asal Somalia yang tingginya melebihi rekan-rekan sekelasnya, dan tak lupa Waka, si rambut ikal asal Arab Saudi yang jadi favorit saya.

Melihat DeLiang berdiri bersama rekan-rekannya dari berbagai negara seperti refleksi bagi saya tentang perjalanan sekolah 3 generasi dalam keluarga kami. Ayah saya, saya, dan tentu saja DeLiang. Berbeda dengan saya dan DeLiang yang cukup beruntung terakhir setelah era 1980-an, Ayah saya harus melewati masa pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas dengan perjuangan yang tak mudah. Di waktu SD, punya sandal jepit ke sekolah saja sudah mewah bagi teman sebaya ayah saya. Apalagi buku tulis, merekam pelajaran dari bebatuan adalah hal lumrah yang mereka kerjakan ketika harus menerima pelajaran dari para guru-guru asal Ambon yang rela bertugas di pelosok selatan Halmahera.

DeLiang3

Baca lebih lanjut

Iklan

DeLiang, mainan, dan puasa pertamanya di Inggris

“Abi.. Puasa itu bahasa Inggrisnya apa?” DeLiang menatapku datar. Berbisik pelan seperti kebiasaanya ketika berbicara di keramaian: malu-malu.
.
Fasting. Puasa is Fasting. Nanti abi ajaring ngomong ke gurumu setelah turun dari bus.” Balasku meredakan kegelisahannya.
.
Hari ini adalah hari pertama DeLiang berpuasa sambil sekolah. Setelah bangun pagi (7am) dia kemudian sarapan, minum, sikat gigi, dan bersiap ke sekolah. Perjanjian awal kami dengannya soal puasa adalah dia harus menahan keinginannya untuk makan dan minum dari waktu sarapan hingga lunch. Lalu berlanjut lagi setelah lunch hingga dinner. Tidak ada penolakan, DeLiang sudah menyetujuinya sejak awal. Bisa jadi karena tahun lalu, dia sudah dikenalkan puasa setengah hari oleh ibunya di Indonesia.
.
I am fasting but I (can) eat my lunch.” Ujarnya sambil memandangku. Kakinya masih sibuk menyusuri jalanan basah karena hujan sejak subuh tadi. Bristol mendung pagi ini.
.
“Begitu ngomongnya bi?” Lanjutnya mengkonfirmasi.
.
“Iyap.. Nanti ngomong gitu ke gurumu ya jika kamu diajak makan ketika snack time.
.
Sepuluh menit kemudian, aku sudah melepasnya dengan tenang tanpa memberitahukan gurunya jika dia sedang belajar puasa. Aku ingin melihat bagaimana dia melobi gurunya tentang puasa. Aku lalu bergerak menuju Queens Building, Umiversity of Bristol lokasi officeku berada. Melanjutkan rutinitasku menyelesaikan revisi PhD thesis.
.
Satu jam kemudian, ada pesan masuk di google chat. Aku sering mengabaikan semua pesan dan memakai google chat untuk berkomunikasi dengan Istri selama bekerja.
.
“Abi gak ditelpon sekolahnya DeLiang?” Tanya istriku khawatir.
.
Aku kaget mendengarnya lalu bergegas melihat HP-ku. Ada tiga panggilan tak terjawab dan notifikasi voice mail tertera di layar.
.
Aku bergegas mengambil telpon kantor disampingku lalu menelpon sekolah DeLiang. Tak berapa lama suara perempuan paruh baya yang aku tahu bekerja di bagian reception sekolah DeLiang menjawab. Aku kemudian menanyakan alasan mereka menelponku. Suara dari seberang menyuruhku untuk menunggu jawaban langsung dari Ms. Heidi, guru DeLiang.
.
Oh Hi… I just want to confirm something about DeLiang. Dia gak mau dikasih snack dan minum sama sekali. Katanya dia puasa. He said he is fasting and insisted to reject any food and drink that we gave. We are wondering if he is fasting all day” Ms. Heidi mengurai kekhwatirannya. Aku tersenyum mendengarnya. Ada perasaan bahagia dan bangga yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Yes he is fasting but he can eat his lunch. He will start fasting again after that. Sorry for making all the teachers worried about him” Balaskan tenang.

Ohh.. no worries it is completely fine. Don’t worry about that” Tutup Ms. Heidi, sebuah ucapan yang menunjukkan bahwa mereka menghargai bagaimana cara kami memperkenalkan puasa kepada anak kami.

IMG_20170605_154148

Baca lebih lanjut

Hi Eropa, Saksikan bahwa aku seorang muslim

Bismillah…

Namanya Bu Muti, Ibu tiga anak ini melangkahkan kakinya dengan penuh semangat menuju stasiun Bus Bristol, salah satu kota di bagian Selatan Inggris Raya. Tujuannya kali ini adalah Bath, kota yang terkenal dengan arsitektur Georgia dan tempat pemandian air panasnya. Bu Muti bukan sedang memanjakan matanya dengan keindahan kota Bath atau pergi menikmati hot spring di sana di sela kesibukannya sebagai Ibu rumah tangga menemani suaminya yang bekerja di Airbus. Bu Muti sedang menuntaskan misinya yang tak mudah: Menggondol gelar PhD. Bu Muti harus menepis semua kemalasannya setiap hari menuju Bath, menghabiskan 4 jam perjalanan pulang pergi dari  rumahnya di Bristol dengan Bus untuk kembali belajar.

Belum sampai satu tahun ini, Bu Muti resmi menjadi mahasiswa PhD di bidang Teknik kimia di Bath University. Sebuah profesi yang tak mudah untuk seorang Ibu di usianya yang tak lagi muda. Bu Muti sering menghabiskan waktunya di Bus dengan dzikir pagi yang panjang dalam 2 jam perjalanan menuju Bath kemudian kembali menekuri paper-paper ilmiahnya.

“Akhirat adalah yang utama. Setelah berdzikir, barulah saya akan membaca urusan dunia yaitu paper-paper riset saya.”

Ketika ditanya kenapa ingin mengambil PhD setelah lebih dari 10 tahun tidak lagi merasakan dunia pendidikan di kampus, jawabannya sungguh membuat saya takjub.

“Saya ingin membuktikan kepada orang-orang di sini, bahwa seorang muslim itu cerdas, punya pendidikan tinggi, bisa sekolah sampai S3. Saya mengagumi kisah seorang nenek-nenek yang diusianya yang sudah 82 tahun bisa meraih gelar sarjana di bidang Hadits. Ingin menunjukkan kepada dunia bahwa seorang muslim bukanlah teroris”

Bristol

Baca lebih lanjut

Tips parenting ala Dr. Angela Duckworth: Membangun semangat kerja keras di keluarga

Bismillah…

Tulisan ini adalah bagin dari Self Management Project yang saya dedikasikan untuk membahas masalah manajemen diri. List artikelnya bisa di lihat di sini.

Bagi anda yang belum familiar dengan nama Dr. Angela Duckworth, maka perkenankan saya memberikan sedikit informasi tentangnya. Angela adalah doktor lulusan Psikologi dari University of Pennsylvania, Amerika dan merupakan alumni S1 bidang Neurobiology dari Harvard University dan S2 Neuroscience dari Oxford University. Rasanya latar belakang pendidikan seorang Angela sudah menjelaskan “kehebatan”nya.

Tapi ada yang lebih penting dari sekedar deretan pengalaman pendidikan di kampus-kampus terbaik di dunia yang dimiliki Angela. Adalah teorinya tentang GRIT-lah yang membuat namanya melejit dalam satu tahun terakhir ini. Angela sudah menekuni riset psikologi tentang GRIT lebih dari satu dekade lamanya dan hasilnya, Angela berhasil menelurkan salah satu buku yang fenomenal dan kemudian menjadi New York Times Best Seller.

Jika kita terjemahkan dalam bahasa indonesia, GRIT ini seperti reaksi yang kita lakukan ketika sedang menahan beban yang sangat berat lewat gemeretak gigi kita karena menahan sakit yang teramat sangat, namun kita terus bertahan melakukannya. Dalam bahasa Inggris menjadi sederhana yaitu GRIT namun jika diterjemahkan, Angela mengartikannya sebagai kekuatan gabungan antara passion dan kemampuan untuk berusaha menghadapi kesulitan dalam waktu yang lama (perseverance).

Menurut Angela, kesuksesan TIDAK ditentukan dengan BAKAT LAHIR yang anda bawa. Tetapi ditentukan level kualitas GRIT anda.

Baca lebih lanjut