Bismillah…
Siang kemarin, sehari setelah usianya genap 5 tahun, DeLiang pulang sekolah dengan membawa foto bersama teman-teman satu kelas reception (seperti TK) di St. Michaels on the mount Primary School, Bristol. Wajahnya tanpa senyum, sama seperti Faith, gadis cilik asal inggris dikelasnya yang terkenal pendiam. Wajah-wajah teman-temannya dari berbagai penjuru dunia dan ras membuatku tersenyum melihat mereka. Ada Lewis keturunan China-Bristish yang jago matematika, ada Adam asal Turkey yang paling muda umurnya tapi paling chubby, ramah, dan perhatian. Juga ada Abdul Samad asal Somalia yang tingginya melebihi rekan-rekan sekelasnya, dan tak lupa Waka, si rambut ikal asal Arab Saudi yang jadi favorit saya.
Melihat DeLiang berdiri bersama rekan-rekannya dari berbagai negara seperti refleksi bagi saya tentang perjalanan sekolah 3 generasi dalam keluarga kami. Ayah saya, saya, dan tentu saja DeLiang. Berbeda dengan saya dan DeLiang yang cukup beruntung terakhir setelah era 1980-an, Ayah saya harus melewati masa pendidikan sekolah dasar hingga menengah atas dengan perjuangan yang tak mudah. Di waktu SD, punya sandal jepit ke sekolah saja sudah mewah bagi teman sebaya ayah saya. Apalagi buku tulis, merekam pelajaran dari bebatuan adalah hal lumrah yang mereka kerjakan ketika harus menerima pelajaran dari para guru-guru asal Ambon yang rela bertugas di pelosok selatan Halmahera.